Sunday, August 26, 2007

Perlindungan Satwa Dalam Pandangan Islam

Pada Hakekatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-qur’an, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu didunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah,45:13 yang artinya sebagai berikut :

Dan Dia telah menundukan untukmu segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di muka bumi; semuanya itu dari Dia; sesungguhny di dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir (Q.S. Al-Jatsiyah,45:13)

Ayat ini sama sekali tidak menunjukan bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekendak hatinya dan tidak pula memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak keseimbangan ekologisnya. Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan. Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang Pencipta telah menjadikan semua yang ada di alam ini (termasuk satwa) sebagai amanah yang harus mereka jaga.

Al-qur’an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang termaktub dalam ayat berikut :

"Barang siapa melakukan amal saleh, maka (keuntungannya) adalah untuk dirinya sendiri; dan barang siapa melakukan perbuatan buruk, maka itu akan mengenai dirinya sendiri. Dan kelak kamu semua akan kembali kepada Tuhanmu" (Q.S Al-Jatsiyah, 45:15)

Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, Muhammad Fazlur Rahman Anshari menulis :

"Segala yang dimuka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan ; Memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan Tuhan; Melestarikannya sebisa mungkin, yang dengan demikian, mensyukuri nikmat Tuhan dalam bentuk perbuatan nyata."
{Muhammad Fazlur Rahman Anshari, The Qur’anic Founation and Structure of Muslim Society (Karachi:Trade and Industry Publications Ltd, 1973) Vol 2, hal. 126 }

Manfaat Satwa
Menyangkut hewan atau satwa peliharaan, Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl menyebutkan beberapa jalan di mana hewan-hewan tersebut memberi manfaat kepada manusia :

  • a. Dan dia telah menciptakan binatang ternak untukmu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat lainnya dan sebagiannya kamu makan (Q.S. Al-Nahl,16:5)
  • b. Dan mereka membawakan muatan milikmu yang berat menuju tanah yang tidak dapat kau capai dengan selamat kecuali dengan upaya yang sangat berat; karena sesungguhnya Tuhanmu benar-benar maha pengasih dan penyayang (Q.S. Al-Nahl, 16:7
  • c. Dan dia telah menciptakan kuda, bagal, dan keledai untukmu baik sebagai kendaraan maupun sebagai hiasan; dan Dia telah menciptakan makhluk-makhluk lainnya yang belum kamu ketahui (Q.S. Al-Nahl, 16:8)

Mari kita pertimbangkan implikasi kutipan ayat-ayat di atas. Dalam hubungannya dengan ayat (a), kita harus memperhatikan bahwa kulit dan bulu binatang ternak boleh dimanfaatkan. Namun, Nabi Muhammad SAW, melarang penggunaan kulit binatang liar walaupun sekedar untuk alas lantai. Jika aturan ini ditaati oleh semua orang, maka pembunuhan sia-sia terhadap beberapa jenis binatang liar demi meraih keuntungan semata niscaya tidak terjadi lagi. Demikian pula, kendati umat islam diperbolehkan mengkonsumsi daging beberapa binatang tertentu, tapi perlu diingat bahwa hal ini tidak menghalalkan pembantaian secara kejam dan tak tekendali terhadap mereka.

Dalam hubungannya dengan ayat (b) dan (c), kita harus ingat bahwa orang-orang Arab di masa lalu sepenuhnya bergantung pada binatang, misalnya unta, yang membantu membawa barang-barang mereka untuk diperdagangkan ke tempat-tempat jauh. Walaupun begitu, Nabi SAW, memperingatkan agar hewan-hewan pengangkut semacam itu diperlakukan dengan baik selama di perjalanan. Sebagai contoh, beliau mengatakan : Ketika kamu melakukan perjalanan melalui sebuah daerah yang subur, maka perlambatlah agar unta-untamu sempat makan rumput.

'Dan jika kamu melewati sebuah wilayah yang tandus dan kering, percepatlah langkahmu untuk menyedikitkan rasa lapar yang menimpa binatang-binatang itu...'
{Muslim ibn al-Hajjaj al-Naysaburi, shahih Muslim (Kairo:Dar al-Sya’b, tt),”Kitab al-Imarah”, hadist No.174, Vol. 4, hal. 585}

Ketika menghentikan perjalanan untuk menunaikan shalat, Nabi SAW, juga menganjurkan para sahabatnya agar mereka mengurangi beban pada binatang-binatang itu serta memberinya makanan (James Robson, Misykat al-Masbabih, versi Inggris (Lahore: sh. Muhammad Asyraf, Mei 1964), buku ke-18, “Jihad”, vol. 3, hal. 829}.

Beliau juga memperingatkan bahwa binatang-binatang itu harus dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Suatu ketika beliau melihat seseorang yang duduk di atas punggung unta di tengah-tengah pasar sambil berbicara kepada orang-orang. Beliau kemudian menegur orang itu : "Jangan gunakan punggung binatang liarmu itu sebagai mimbar, karena Allah SWT telah membuatnya tunduk kepadamu agar ia bisa membawamu pergi dari satu tempat ke tempat lain
yang tidak dapat kamu capai kecuali dengan badan yang letih"
(Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, “Kitab al-Jihad”, Hadist no.2567, vol. 3, hal.27).

Sayyidina’Ali r.a, kahlifah keempat, menasehati orang-orang dengan mengatakan: “berbaik hatilah pada binatang-binatang pengangkut; jangan lukai mereka; dan jangan muati mereka dengan beban yang melebihi kemampuan mereka”. {Al-Hafizh B.A. Mashri, Animals in Islam (Petersfield: The Athene Trust, 1989), hal 28}.

Dengan demikian umat manusia diharuskan membalas pelayanan yang telah diberikan oleh binatang-binatang mereka dengan memperlakukan binatang itu sebaik mungkin dan membantu mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Karena itu, kita wajib berinteraksi dengan binatang menurut cara-cara yang dibenarkan, karena binatang-binatang itu juga ciptaan Tuhan, sebagaiman disebutkan dalam ayat berikut ini :

"Tidak ada seekor binatang pun di muka bumi, tidak juga satu makhluk pun yang melayang dengan sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kalian. Tidak ada di antara mereka yang kami hapus dari al-Kitab. Kelak mereka semua akan berkumpul kembali kepada Tuhan mereka" (Q.S. al-An’am, 6:38).

Islam dan Hak Satwa
Sudah jelas kiranya bahwa hewan tidak memiliki kemampuan untuk menuntut haknya dari kita. Namun, menurut perspektif Islam, kita wajib berbuat baik dan memperhatikan apa yang menjadi hak mereka. Karena itu, pada bagian berikut ini kita akan berusaha mengonstruksi ketentuan-ketentuan Islam tentang perlakuan terhadap hewan.

Nabi SAW melarang membunuh binatang tanpa ada tujuan yang jelas. Beliau bersabda : Barang siapa membunuh (bahkan) seekor burung pipit atau binatang-binatang yang lebih kecil lagi tanpa ada hak untuk melakukannya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban orang itu kelak {Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ayb al-Nasa’I, Sunan al-Nasa’I (Kairo: al-Maktabah al-Tajiriyyah, 1398 H/1978 M), “Kitab al-Shayd wa al-Dzaba’ih”, vol. 7, hal. 207}.

Abu Bakar r.a, khalifah pertama, dengan bersandar pada hadist diatas, mengeluarkan peraturan berikut pada para tentara muslim yang akan berangkat ke Syria:
"Dilarang membunuh domba, sapi, atau unta kecuali untuk tujuan memperoleh makanan”.{M.H.K. Sherwani, Hadbrat Abu Bakr, The First Caliph of Islam (terj: S.M. Haq Lahore: sh. Muhammad Ashraf, 1959), hal .60-1. }

Sayang Binatang
Dalam rangka mengajak manusia untuk menjadi penyayang, Nabi saw. Bersabda : "Tuhan yang Maha Penyayang memberikan kasih sayang-Nya kepada orang-orang yang penyayang. Jika kamu menunjukan kasih sayangmu pada mereka yang ada dimuka bumi, maka di surga, Dia akan menunjukan kasih sayang-Nya padamu. {Abu Isa Muhammad ibn Sawrah al –Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (al-Madnah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Salafiyah, 1394 H/1974 M), Abwab al-Birr wa al-Shilab, vol. 3, hal. 147.}

Selain itu, Nabi saw., mengajarkan bahwa sikap dan tindakan kita terhadap binatang akan-di antaranya-menentukan nasib kita di akhirat, sebagaimana diriwayatkan dalam dua kesempatan terpisah berikut :

i. Nabi saw. Berkisah pada para sahabatnya tentang seorang wanita yang akan dikirim ke neraka karena telah mengurung seekor kucing tanpa memberinya makan dan tidak pula melepaskan kucing itu sehingga ia bisa mencari makan sendiri. {Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kairo: Dar al-Sya’b, tt), “Kitab al-Waalah”’ vol. 1, hal. 147 }

ii. Beliau juga bercerita kepada mereka tentang seorang laki-laki yang diberkahi Allah karena telah menyelamatkan nyawa seekor anjing yang hampir mati kehausan dengan memberinya air sehingga hewan itu segar kembali. (Ibid., hal. 146-147)

Islam Melarang Adu Binatang

Nabi saw. Melarang manusia melakukan hal-hal kejam seperti mengadu binatang (Sunan al-Tirmidzi,”Abwab al-Jihad”, vol. 3, hal. 126). Dari sini, jelaslah bahwa adu domba dan sabung ayam merupakan perbuatan terlarang. Sejalan dengan itu, lomba melukai banteng dan beruang adalah sama kejinya dan, karena itu, sama dilarangnya.

Diriwayatkan oleh Ibn Umar r.a. bahwa ia datang ke rumah Yahya ibn Sa’d ketika salah satu anak lelaki Yahya sedang membidik seekor ayam betina yang sudah terikat. Maka, Ibn ,Umar menghampiri ayam itu dan melepaskannya ikatannya. Setelah itu, ia membawa anak itu beserta ayamnya kepada Yahya, lalu berkata kepadanya:
“Cegahlah anakmu dari permainan mengikat unggas ini dengan tujuan membunuhnya, karena aku mendengar bahwa Nabi saw. Melarang membunuh binatang atau makhluk hidup lainnya setelah lebih dulu mengikatnya”. (Shahih al-Bukhari, “Kitab al-Dzaba’ih wa al-Shayd”, vol. 3 hal. 121-2).

Penyembelihan yang Berperikemanusiaan
Umat Isalam diperboleh mengonsumsi daging binatang yang dihalalkan, tetapi Nabi saw. Memperingatkan : Allah menyuruh kita agar terampil dalam segala hal. Sehingga jika kamu membunuh, maka bunuhlah dengan baik; dan jika kamu menyembelih binatang, maka lakukanlah dengan baik. Tajamkanlah mata pisaumu agar dapat meringankan penderitaan binatang yang kamu sembelih. (Shahih Muslim, “Kitab al-Shayd wa al-Dzaba,ih”,hadist no. 54, vol. 4, hal. 622).

Selain itu, pembacaan tasmiyah (menyebutkan nama Allah) ketika menyembelih binatang dimaksudkan untuk menciptakan rasa sayang dan simpati serta mencegah kekejaman terhadap binatang.

Dari beberapa ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, diatas, jelaslah bahwa walaupun manusia –berkat keabijaksanaan Tuhan – dianugerahi kekuasaan atas binatang, tapi dia harus mengikuti aturan Allah SWT dalam memperlakukan binatang atau satwa. Percobaan Binatang Syariat tidak membahas secara langsung isu tentang eksperimen pada binatang. Fikih merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang tidak.

Fikih mempertimbangkan kepentingan umat manusia (mashalih) yang terdiri atas lima hal: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal pikiran (al-‘agl), dan harta benda (al-mal) {Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Figh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal. 220}
Dengan kata lain, tindakan-tindakan tertentu yang dimotivasi oleh keterpaksaan (al-dharurah) dalam rangka melindungi salah satu dari kepentingan-kepentingan ini secara kondisional dapat dibenarkan. Atau, dapat pula dikatakan bahwa jika eksperimen pada hewan dapat dilaksanakan dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang benar-benar bermanfaat bagi kelestarian hidup manusia dan hewan, maka eksperimen tersebut dapat di setujui.

Namun, apa yang diistilahkan sebagai kepentingan (manusia) yang mendesak (al-mashlahah al-dharuriyyah) ini lebih jauh dibatasi oleh prinsip-prinsip umum fikih sebagaimana berikut :

  • i. Sesuatu yang dapat membawa kepada hal-hal yang diharamkan, maka hukumnya haram (Ibid, hal. 228)
  • ii. Seseorang yang terpaksa harus memilih antara dua hal yang buruk, maka ia harus memilih yang lebih kecil keburukannya untuk mencegah keburukan yang lebih besar. (Ibid, hal. 301)
  • iii. Sesuatu yang dihalalkan karena alasan tertentu akan menjadi tidak halal jika alasan kehalalannya itu tidak ada lagi (Ibid, hal.299)
  • iv. Menggunakan berbagai pilihan untuk hal-hal yang tidak ada ketentuannya (Fikih) tentangnya. (Mashr, Animal in Islam, Hal. 19)

Karena itu, dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip fikih di atas pada kasus eksperimen terhadap binatang, maka dapat dikemukakan penarikan kesimpulan sebagaimana berikut :

  • Peraturan ( i ) menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang bersifat menyakiti dan tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan kebutaan atau cacat pada hewan statusnya adalah Haram.
  • Peraturan ( ii) membolehkan pengujian obat-obatan yang terkait dengan penyelamatan nyawa pada hewan sebelum dinyatakan aman untuk digunakan pada manusia.
  • Peraturan ( iii) menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang sembarangan (tidak jelas keperluannya) status hukumnya adalah tidak boleh.
  • Peraturan ( iv) memiliki relevansi dengan penyelidikan terkini tentang alternatif-alternatif bagi eksperimen pada hewan dalam rangka meminimalisir pemanfaatan binatang dalam eksperimen. [SS]

(Dirangkum oleh Suparno, Sumber bacaan: “KLONING, EUTANASIA, TRANSFUSI DARAH, TRANPLANTASI ORGAN, DAN EKSPERIMEN PADA HEWAN, Telaah Fikih dan Biotetika Islam, Karangan Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Guru Besar Studi Islam pada Universitas Durban-Westville, Afrika Selatan)

Dikutif dari: Suara Satwa

'Islam Supports Conservation'

Quoted from the Jakarta Post August 24th, 2007 No Comments

Experts have said Islam includes specific values, cultures and traditions that touch environmental issues relevant and applicable to today’s world. Fachruddin M. Mangunjaya from Conservation International Indonesia said Islamic regulations included environmental conservation as the Jakarta Post explains.

He said the Prophet Muhammad introduced a system called hima, a protection zone, in Islamic conservation law that permitted the creation of environmental reserves for forests, plants, wildlife and endangered species.

“For example hima could be created for bees on a seasonal basis, which would prohibit the grazing of domestic animals during the flower season,” Fachruddin said during a discussion on Islam and conservation at the Syarif Hidayatullah State Islamic University on Thursday.
Fachruddin said the Prophet forbade people from polluting three places: roads, the shade of a tree and riverbanks.

Because of this, each of those three places was protected by the system known as harim, he said.
“The harim area for a river extends to half the river’s width on both banks and the harim area for a tree extends from the tree for a distance of two-and-a-half to three-meters in all directions,” he said.

“There is also a forbidden zone for wells or water sources, in which the zone is at least 20 meters in all directions.”

Fachruddin said there were regulations on what kinds of food Muslims could eat and should not eat.

He said Muslims must not eat animals with fangs and claws.

“If we apply this, we will be able to preserve our endangered predators, such as tigers and eagles,” he said.

The university rector Komaruddin Hidayat said Muslims should follow guidelines the Prophet had set out, including planting trees and converting infertile land to fertile soil.
He said during the pilgrimage to Mecca and Madina in Saudi Arabia, Muslims were forbidden to kill or destroy any living creature, including a mosquito, or to break the branch of a tree.
“This has left the environment of Saudi Arabia undamaged, even though those two holy cities are visited by pilgrims all year round,” he said.

A number of high-ranking officials from Afghanistan attended the discussion because they said they wanted to learn about nature conservation practices in Indonesia.

Sultan Muhammad Awrang, a member of the natural resources and environment committee of the Afghanistan parliament, said the war that had lasted for the last three decades in his country had damaged the environment and human resources in environmental sectors.

He said the visit to Indonesia was related to the Afghan government’s plan to restore their national parks.//

Monday, August 13, 2007

Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology

Oleh Hatim Gazali

Sayyid Hussein Nasr dalam Man and Nuture: Crisis of Modern Man menjelaskan, ada dua hal yang perlu dirumuskan soal krisis lingkungan. Pertama, formulasi dan upaya untuk memperkenalkan sejelas-jelasnya apa yang disebut hikmah perenial Islam tentang tatanan alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berperspektif teologis.

Krisis lingkungan kini menimpa jagad raya. Kerugian lingkungan akibat gempa dan tsunami yang menimpa Nangroe Aceh Darussalam sungguh sangat besar. Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup (UNEP) memperkirakan kerugian Indonesia di sektor ini saja akan mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh kawasan di Indonesia, bahkan dunia. Banjir, tanah longsor, polusi, ketidakmenentuan cuaca sering kali terjadi akhir-akhir ini. Jakarta, bahkan halaman Istana Negara pun tidak luput dari sentuhan bencana alam. Alam yang mulanya bersahabat dengan manusia, bahkan diperuntuhkan untuk manusia dalam batas-batas tertentu, justru kini bersifat destruktif dan menjadi ancaman sangat serius bagi kehidupan manusia.
Ini belum ditambah dengan krisis ekonomi, politik, budaya, dan kesehatan yang menimpa dunia ketiga, tak terkecuali Indonesia.

Semua krisis tersebut, kalau menggunakan pandangan R.F Schumacher dalam A Guide for the Perplexed (1981) adalah akibat dari krisis spiritual dan krisis perkenalan kita dengan Tuhan yang terkait dengan dimensi kepercayaan dan makna hidup. Bencana alam akibat krisis lingkungan yang silih berganti, sesungguhnya merupakan peringatan bagi segenap manusia untuk mereoreintasi hidup mereka yang terus saja merusak alam. Semua itu terjadi karena perilaku manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab.
Padahal, anjuran melestarikan lingkungan merupakan ajaran yang sangat purba dan fundamental dari agama. Ini dapat kita cermati dari kasus kejatuhan Adam ke muka bumi. Konon dalam doktrin legend of the fall dijelaskan, Adam disebut tersingkir dari surga yang penuh estetika, kedamaian, kerindangan, dan subur ke muka bumi yang gersang, karena dia tidak mengindahkan ajaran Tuhan, yakni kearifan ekologis. Adam dan Hawa (Eva) memakan dan merusak buah dan pohon kekekalan (QS. 2: 35-39). Dari sini dapat dipahami bahwa menjaga lingkungan hidup merupakan doktrin purba dari agama.

Doktrin tersebut telah menempatkan kesadaran dan pemeliharan ekologi sebagai hal utama setelah teologi. Namun seiring perkembangan manusia, ajaran tersebut makin terlupa dan tersingkir dari pola kehidupan. Perusakan lingkungan, pembakaran hutan, penebangan pohon secara liar, dan eskploitasi kekayaan alam secara besar-besaran dianggap absah belaka. Itu semua terkadang dilakukan dengan dalih bahwa alam semesta telah dicipta semata-mata untuk kepentingan manusia. Manusia yang mendapat mandat sebagai khalifah muka bumi seolah-olah diperkenankan untuk melakukan eksploitasi dan pemerkosaan atas semesta alam. Padahal, konsep khalîfah (aktif memakmurkan bumi) dalam doktrin Islam tidak pernah otonom. Di samping sebagai khalîfah, manusia juga bagian dari hamba Allah (penerima rambu-rambu Allah) yang seyogyanya melestarikan dan memanifestasikan ajaran dan sifat-sifat Tuhan di muka bumi.

Karena itu, perusakan semesta alam sama sekali tidak punya landasan teologis. Memelihara lingkungan, justru suatu panggilan teologis yang sangat mulia. Kita sudah semestinya memikirkan kembali aspek kerusakan lingkungan yang sedemikian parah, lalu melakukan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan kehidupan.

Untuk langkah tersebut, usaha menapak tilas pola hidup orang-orang bijak dan para mistikus Islam menjadi sangat berguna. Sebab, di sana akan kita temukan betapa mereka begitu cinta terhadap alam dan lingkungannya. Sa’di misalnya, penyair Persia itu, suatu kali bersenandung: "Aku bersuka cita dengan kosmos/aku juga mencintai seluruh dunia/karena dunia adalah milik-Nya.” Penyair lainnya, Yusuf Emre, secara puitis menyimbolkan fakta ekologis dengan realitas alam surgawi, "Semua sungai yang ada di surga/mengalir dengan kata Allah, Allah/Dan setiap burung Bulbul, bercumbu dan melantunkan nada: Allah, Allah!"

Eco-Theology
Sayyid Hussein Nasr dalam Man and Nuture: Crisis of Modern Man seperti dikutip Ihsan A. Fauzi (1994) menjelaskan, ada dua hal yang perlu dirumuskan soal krisis lingkungan. Pertama, formulasi dan upaya untuk memperkenalkan sejelas-jelasnya apa yang disebut hikmah perenial Islam (hikmah khalidah/scientia sacra, philosophia perennis) tentang tatanan alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berperspektif teologis (eco-theology), dan jika perlu, memperluas wilayah aplikasinya sejalan dengan prinsip syariat itu sendiri.

Dalam kerangka itulah, membangun teologi berbasis kesadaran dan kearifan ekologis—yang kerap disebut eco-theology—merupakan kebutuhan mendesak yang tak bisa kita tawar-tawar lagi. Untuk keperluan itu, ada tiga hal yang perlu ditegaskan di sini. Pertama, menempatkan persoalan lingkungan sebagai bagian dari agama. Dalam kitab al-Muwâfaqât, Abu Ishaq al-Syatibi membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl). Pertanyaan kita: di mana posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam?

Untuk menjawab itu, Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah (2001) menjelaskan bahwa pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.
Kedua, ajaran Taoisme tentang Yin-Yang juga dapat memberi kearifan.

Yang biasanya digambarkan sebagai agresif, maskulin, kompetitif, dan rasional. Sementara Yin dilukiskan konservatif, intuitif, kooperatif, feminin, dan responsif. Dalam Taoisme, Yin-Yang harus berjalan secara sejajar dan seimbang, sehingga keharmonisan antara makrokosmos dan mikrokosmos terwujud. Kenyataan kita lebih suka berpikir rasional, linear, mekanistik, dan materialistik perlu diseimbangkan dengan pengetahuan yang intuitif, non-linear, dan koordinatif, sebagai perwujudan Yin (kearifan ekologis). Ajaran Taoisme ini rasanya penting untuk diadopsi guna menjawab krisis ekologis yang terus mengancam kita.

Terakhir, kita mungkin juga perlu mendengar fatwa Charlene Spretnak dalam The Spiritual Dimension of Green Politics. Di situ dia menekankan pentingnya mengembangkan green politics (politik hijau); gerakan politik yang sadar ekologi. Kebijakan-kebijakan sosial-politik-ekonomi kita sudah saatnya mempertimbangkan soal lingkungan hidup. Sudah waktunya para pejabat negara, politisi, dan partai-partai politik menyuarakan pentingnya kesadaran akan politik hijau atau politik ekologis (ecological politics) ini. []

Hatim Gazali, peneliti Community for Religion and Social Engineering (CRSe) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Dikutip dari : http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=760

Tuesday, August 7, 2007

Lingkungan dan Kadar Iman Kita

Banjir, tanah longsor, yang terbaru banjir akibat lumpur panas di Sidoarjo, adalah pemandangan kita sehari-hari. Mengapa kasus seperti ini kerap terjadi? bukankah Al-Qur'an mengajarkan menjaga lingkungan?

Oleh: Dr. Ir. Yusmin Alim, MSc *)

Hujan, banjir disertai longsor adalah pemandangan ‘mengerikan’ yang sedang terjadi di negeri kita. Kasus terbaru adalah banjir lumpur panas di desa Siring, Porong, Sidoarjo. Yang Pada intinya, kerusakan alam yang terjadi, banyak disebabkan ketidaktaatan kita mengelola alam. Padahal, dalam agama kita (Islam) pengelolaan alam banyak ditegaskan dalam ayat suci Al-Qur’an.Kali ini, hidayatullah.com menurunkan tulisan tentang lingkungan dan iman yang ditulis oleh Dr. Ir. Yusmin Alim, MSc, pangamat masalah lingkungan hidup dan Islam. Penulis kini tinggal di Abbott Lane, Ithaca, New York. Tulisan akan diturunkan secara berseri. Inilah tulisan bagian pertama.
***

Beberapa hari lalu, Menteri Lingkungan, Rachmat Witoelar merasa miris oleh fakta bahwa pada tahun 2005 lalu ada 62 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berstatus kritis. Angka ini tiga kali lipat dibanding tahun 1984 yang hanya ada 22. “Lama-lama bisa habis,'' kata Menteri Negara Lingkungan Hidup dikutip wartawan.
Sadar dengan kondisi gawat ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melancarkan jurus anyar guna menyelamatkan DAS-DAS kritis. Caranya, tentu saja, menghambat laju pembabatan hutan.
Namun jurusnya tak lagi mengedepankan teknik 'mengancam'. Sebaliknya, memberi 'iming-iming'. Jurus ini berupa sebuah kompetisi. Namanya program Menuju Indonesia Hijau (MIH). Lewat MIH, KLH mengajak seluruh kabupaten di Indonesia berkompetisi menjadi yang terhijau.

Peristiwa rusaknya lingkungan, barangkali menjadi pemandangan kurang mengenakkan dalam kurun waktu setahun ini. Jangan heran, bila di mana-mana banyak longsor atau banjir.Mulai banjir di sungai Citarum, di Dayeuhkolot (Bandung), banjir dan longsong Jember, Jawa Tengah, sampai Ambon dan Sinjai yang sedang kita saksikan hari ini. Yang terakhir, adalah peristiwa banjir lumpur panas yang menggenangi desa Siring, Porong, Sidoarjo yang kemudian merembet hingga beberapa kecamatan akibat eksplorasi gas yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Mengapa kasus-kasus seperti ini terjadi? Islam dan lingkungan hidupMasalah lingkungan hidup belum digarap serius sebagai bagian integral dari dakwah Islamiah. Lingkungan hidup makin rusak, karena insan Indonesia telah gagal mengemban misinya sebagai khalifah di muka bumi; untuk memelihara lingkungan hidup. Salah satu faktor penyebabnya adalah “nonsatiation rule” yang telah merasuk dalam prinsip hidup sehari-hari. Menjadikan insan Indonesia dengan kadar keimanan tipis dan acuh terhadap proses perusakan lingkungan yang makin cepat dan meluas.Sebelumnya, jarang kita dengar tema lingkungan hidup menjadi bagian obyek dakwah di Indonesia. Kalaupun ada, seperti gencarnya publikasi “Agama dan Lingkungan Hidup” baru pada tahun 1980-an. Itupun, konteksnya tak jauh dari kampanye ‘Keluarga Berencana saja.
Beberapa kajian yang pernah ditulis dalam disertasi Dr. Mujiono Abdillah, MA serta jurnal dari Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta hanya merupakan upaya awal mengangkat masalah lingkungan hidup sebagai bagian dari pengkajian agama. Belum banyak pemuka agama yang menyempatkan diri untuk mengusik isu lingkungan hidup. Tak jarang diskusi agama menjadi kering dan jauh dari hal keseharian seperti masalah lingkungan.
Walaupun ada angin segar yang dihembus tokoh-tokoh seperti Aa Gym dengan Manajemen Qolbu-nya atau Ary Ginanjar dengan ESQ-nya, hal ini tidaklah merubah persepsi bahwa umat Islam belum terlalu perduli dengan urusan lingkungan hidup yang sudah semakin parah di Indonesia.Masalah lingkungan hidup sangatlah luas, dimulai dari hal sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya sampai kepada penggunaan ampas uranium dalam peperangan. Untuk kasus Indonesia, indikator lingkungan disederhanakan mencakup masalah polusi udara, persampahan, air bersih, perumahan, konservasi lahan, dan kemacetan lalu-lintas.

Banyak orang berpikir bahwa terminologi lingkungan hidup lebih dikenal sebagai kosa kata dari peradaban barat, seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan yang salah bahwa hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan hidup. Padahal untuk seorang muslim masalah lingkungan hidup sifatnya inheren sebagai bagian dari kepribadian. Namun banyak yang secara tidak sengaja memisahkan masalah lingkungan hidup dari urusan agama.
Benarkah demikian? Perhatikan isi Surat Al An’aam 101 yang berarti sebagai berikut, “Dia pencipta langit dan bumi…. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu”. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim/Muslimah justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah 30 yang berarti sebagai berikut; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature (1990)” dan “Religion and the Environmental Crisis (1993)”, yang disajikan sebagai berikut:“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centreof the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names ofall things he gains domination over them, but he is given this power only because he is thevicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the rightto dominate over nature only by virtue of his theomorphic make-up, not as a rebel againstheaven.”
Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).Andaikan Islam dilaksanakan dengan konsisten tentunya akan tercipta lingkungan hidup yang baik. Namun tanah air tercinta justru sedang dirongrong oleh kerusakan bumi pertiwi.
Lingkungan hidup dalam Al-Qur’anIslam adalah agama yang realisits, banyak sekali pedoman bagi seorang Muslim/Muslimah untuk mengurus masalah sehari-hari. Karenanya, patutlah diresapkan apa yang telah dikatakan oleh ulama besar kita seperti Buya HAMKA, “Memang, begitulah kebijaksanaan Al-Quran. Karena Islam itu bukanlah semata-mata mengatur ibadah: kepentingan tiap-tiap pribadi dengan Allah saja, tetapi juga memikirkan dan mengatur masyarakat.”Allah telah memberikan tuntunan dalam Al-Quran tentang lingkungan hidup. Karena waktu perenungan, hanya beberapa dalil saja yang diulas sebagai landasan untuk merumuskan teori tentang lingkungan hidup menurut ajaran Islam.
Dua dalil pertama pembuka diskusi ini bersumber pada Surat Al An’aam 101 dan Al Baqarah 30. Dalil pertama adalah: “Allah pencipta langit dan bumi (alam semesta) dan hanya Dialah sumber pengetahuannnya”. Lalu dalil kedua menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Perlu dijelaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi itu bukan sesuatu yang otomatis didapat ketika manusia lahir ke bumi.
Manusia harus membuktikan dulu kapasitasnya sebelum dianggap layak untuk menjadi khafilah. Seperti halnya dalil pertama, dalil ke tiga ini menyangkut tauhid. Hope dan Young (1994) berpendapat bahwa tauhid adalah salah satu kunci untuk memahami masalah lingkungan hidup. Tauhid adalah pengakuan kepada ke-esa-an Allah serta pengakuan bahwa Dia-lah pencipta alam semesta ini. Perhatikan firman Allah dalam Surat Al An’aam 79: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”

Dalil ke empat adalah mengenai keteraturan sebagai kerangka penciptaan alam semesta seperti firman Allah dalam Surat Al An’aam, dengan arti sebagai berikut, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang..”Adapun dalil ke lima dapat ditemukan dalam Surat Hud 7 yang menjelaskan maksud dari penciptaan alam semesta, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,….Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.”

Itulah salah satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar manusia dapat berusaha dan beramal sehingga tampak diantara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah. Dalil ke enam adalah kewajiban bagi manusia untuk selalu tunduk kepada Allah sebagai maha pemelihara alam semesta ini.
Perintah ini jelas tertulis dalam Surat Al An’aam 102 yaitu, “..Dialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu”Dalil ke tujuh adalah penjabaran lanjut dari dalil kedua yang mewajibkan manusia untuk melestarikan lingkungan hidup.
Adapun rujukan dari dalil ini adalah Surat Al A’raaf 56 diterjemahkan sebagai berikut;
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya……..” Selanjutnya dalil ke delapan mengurai tugas lebih rinci untuk manusia, yaitu menjaga keseimbangan lingkungan hidup, seperti yang difirmankanNya dalam surat Al Hijr 19, ”Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.”Dalil ke sembilan menunjukkan bahwa proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) bumi. Proses ini dikenal dalam literatur barat sebagai: siklus Hidrologi. Dalil ini bersumber dari beberapa firman Allah seperti Surat Ar Ruum 48, Surat An Nuur 43, Surat Al A’raaf 57, Surat An Nabaa’ 14-16, Surat Al Waaqi’ah 68-70, dan beberapa Surat/Ayat lainnya. Penjelasan mengenai siklus hidrologi dalam berbagai firman Allah merupakan pertanda bahwa manusia wajib mempelajarinya.
Perhatikan isi Surat Ar Ruum: 48 dengan uraian siklus hidrologi berikut ini. Hujan seharunya membawakegembiraaan karena menyuburkan tanah dan merupakan sumber kehidupan.Surat Ar Ruum 48 Siklus hidrologiMencakup proses evaporasi, kondensasi, hujan, dan aliran air ke sungai/danau/laut, Al-Qur’an dengan sangat jelas menjabarkannya. Evaporasi, adalah naiknya uap air ke udara. Molekul air tersebut kemudian mengalami pendinginan yang disebut dengan kondensasi. Kemudian terjadi peningkatan suhu udara, yang menciptakan hujan. Air hujan tersebut menyuburkan bumi dan kemudian kembali ke badan air (sungai, danau atau laut.Ini dengan jelas dibambarkan dalam Al-Qur’an surat ar-Ruum:48 yang berbunyi; “Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hambahamba-Nya yang dikehendakinya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.”Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari dalil ke sepuluh bahwa kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani.Merujuk pada Surat Al-Baqarah 222; “….sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri.” Serta Surat Al-Muddatstsir 4-5; “..dan bersihkan pakaianmu serta tinggalkan segala perbuatan dosa.” Meski slogan yang dikenal umum seperti “kebersihan adalah sebagian dari iman”, banyak diakui sebagai hadis dhaif, namun demikian, Rasulluah S.A.W. bersabda bahwa iman terdiri dari 70 tingkatan: yang tertinggi adalah pernyataan “tiada tuhan selain Allah” dan yang terendah adalah menjaga kerbersihan.Jajdi, memelihara lingkungan hidup adalah menjadi bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Khususnya beragama Islam.
Mengutip disertasi Abdillah (2001), Surat Luqman ayat 20 Allah berfirman, “Tidakkah kau cermati bahwa Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupanmu secara optimum. Entah demikian, masih saja ada sebagian manusia yang mempertanyakan kekuasaan Allah secara sembrono. Yakni mempertanyakan tanpa alasan ilmiah, landasan etik dan referensi memadai.”Selain itu, Abdillah juga mengutip bahwa manusia harus mempunyai ketajaman nalar, sebagai prasyarat untuk mampu memelihara lingkungan hidup.
Hal ini bisa dilihat Surat Al Jaatsiyah 13 sebagai berikut; “Dan Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Yang demikian hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki daya nalar memadai.”Dalil-dalil di atas6 adalah pondasi dari teori pengelolaan lingkungan hidup yang dikenal dengan nama “Teorema Alim” yang dirumuskan sebagai berikut:Misi manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah memelihara lingkungan hidup, dilandasi dengan visi bahwa manusia harus lebih mendekatkan diri pada Allah.

Perangkat utama dari misi ini adalah kelembagaan, penelitian, dan keahlian. Adapun tolok ukur pencapaian misi ini adalah mutu lingkungan. Berdasarkan “Teorema Alim” ini, kerusakan lingkungkan adalah cerminan dari turunnya kadar keimanan manusia.Rasulullah S.A.W. dan para sahabat telah memberikan teladan pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti yang dilaporkan Sir Thomas Arnold (1931) bahwa Islam mengutamakan kebersihan sebagai standar lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan kota Cordoba.
Menjadikan kota ini memiliki tingkat peradaban tertinggi di Eropa pada masa itu. Kota dengan 70 perpustakaan yang berisi ratusan ribu koleksi buku, 900 tempat pemandian umum, serta pusatnya segala macam profesi tercanggih pada masa itu. Kebersihan dan keindahan kota tersebut menjadi standar pembangunan kota lain di Eropa.Contoh lain adalah inovasi rumah sakit dan manajemennya (Arnold, 1931).
Pada masa itu manajemen rumah sakit sudah sedemikian canggihnya sebagai pusat perawatan dan juga pusat pendidikan calon-calon dokter. Rumah sakit tersebut sudah memiliki ahli bedah, ahli mata, dokter umum, perawat, dan administrator. Tercatat 34 rumah sakit yang tersebar dari Persia ke Maroko serta dari Siria Utara sampai ke Mesir. Rumah sakit pertama yang berdiri di Kairo pada tahun 872 Masehi, bahkan beroperasi selama 700 tahun kemudian. Inovasi bidang kesehatan ini bahkan berkembang sampai pada penemuan ambulan atau menurut Arnold (1931) sebagai “traveling hospital”[hidayatullah.com]


*) Penulis peminat masalah lingkungan hidup dan Islam

Fatwa Penebangan Liar dan Pertambangan Tanda Izin Illegal Logging dan Illegal Mining

21 May 2007

IJTIMA' KOMISI-KOMISI FATWA MUI WILAYAH IV KALIMANTAN DI BANJARMASIN KEPUTUSAN FATWA MUI WILAYAH IV KALIMANTAN No: 127/MUI-KS/XII/ 2006

Tentang PENEBANGAN LIAR DAN PERTAMBANGAN TANPA IZIN ILEGAL LOGING DAN ILEGAL MINING

ljtima' Komisi-Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah IV Kalimantan yang berlangsung di Banjarnmasin pada tanggal 22 Zulqaidah 1427 H bertepatan dengan tanggal 13 Desember 2006 M setelah :

MENIMBANG :
Bahwa akhir-akhir ini makin maraknya penebangan liar dan penambangan tanpa izin dan bisnis ilegal loging dan ilegal mining;; bahwa hal tersebut sangat merugikan masyarakat dan negara, yang menyebabkan rusaknya lingkungan dan terjadi banjir dan tanah longsor dan melawan perundang-undangan yang berlaku; bahwa untuk membatasi praktek tersebut MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penebangan liar dan penambangan tanpa izin, bisnis ilegal loging dan ilegal mining untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.

MENGINGAT :

AL QUR'AN : Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam seperti kayu dan tambang untuk umat manusia, S. Al Baqarah: 29 Artinya: "Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu"

Firman Allah tentang pemberian kemudahan yang menjadikan segala yang diberikan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya, S. Al Jatsiyah: 13 Artinya "Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir" Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan , S. Al 'Araf: 56 Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut(tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik" Firman Allah tentang musibah yang terjadi disebabkan tangan manusia, S. Asyuuraa: 30 Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahan mu)" Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah yang melarang penebangan dan menambang yang berlebihan, S. An Nisa: 59 Artinya "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (SunnahNya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya". H A D I S: Hadis yang menerangkan wajib mentaati pemimpin (Pemerintah) : Artinya: "Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta mentaati(pemimpin) walaupun seorang yang berasal dari budak bangsa Habsyah" (HR. Ibnu Majah dari Al- Irbadh bin Syariyah) KAIDAH-KAIDAH FIKIH: Kebijakan Pemerintah harus untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat : Artinya: "Kebijakan(peratura n) pemerintah dalam mengatur rakyat haruslah berdasarkan kemaslahatan" (AI Asybahu wa Al Nazair :134) Peraturan pemerintah yang mengatur hal yang mubah yang dianggap menjadi kemaslahatan umum dan apa yang telah ditetapkan itu wajib ditaati: Artinya: "Pemerintah memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mubah yang dianggap membawa kepada kemaslahatan umum, dan apa yang diperintah (diatur) itu hukumnya wajib ditaati" (Mirast Muqaran : 127) Peraturan pemerintah tersebut menjadi bagian hukum syara' (agama) yang wajib ditaati oleh semua orang: Arlinya: "Peraturan pemerintah menjadi bagian hukum syara' ( agama) yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat untuk melaksanakannya" (Mirast Muqaram : 127)

MEMPERHATIKAN:

Pendapat para peserta Ijtima' Komisi-Komisi Fatwa MUI Wilayah IV Kalimantan yang diselenggarakan di Banjarmasin pada tanggal 22 Zulqaidah 1427 H bertepatan dengan tanggal 13 Desember 2006 M.

DENGAN BERTAWAKAL KEPADA ALLAH
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:

tentang penebangan dan penambangan sebagai berikut:
Penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan atau negara hukumnya haram. Semua kegiatan dan penghasilan yang didapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram Penegak hukum wajib bertindak tegas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.


DITETAPKAN :

di Banjarmasin PADA TANGGAL: 22 Zulqaidah 1427 H 13 desember 2006

M IJTIMA' KOMISI-KOMISI FATWA MUI WILAYAH IV KALIMANTAN DI BANJARMASIN

KETUA

ttd. Prof. Drs. H. M. Asywadie Syukur, Lc

SEKRETARIS ttd. Drs. H. Rusdiansyah Asnawi, SH

Ketua Umum MUI Kalbar : KH M Bachit Nawawi, SH
Ketua Komisi Fatwa MUI Kalbar: Drs. KH. Arief Hasbillah
Ketua Umum MUI Kalteng: KH Wahid Qasimy
Ketua Komisi Fatwa MUI Kalteng: KH. Anwar Isa, Lc
Ketua Umum MUI Kaltim KH Mujtaba Ismail, SH
Ketua Komisi Fatwa MUI Kalbar KH. Saad Ijan, BA
Ketua Umum MUI Kalsel Prof Drs. HM Asywadie Syukur, Lc
Ketua Komisi Fatwa MUI Kalsel Drs. H. Rusdiansyah Asnawi, SH

Taushiyah NU tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup

Bismillahirrahmanirrohim

Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) Pada Tanggal 20-23 Juli 2007 di Jakarta.

MEMPERHATIKAN :

I. Mencermati Suasana genting ekosistem meliputi:

A. KRISIS EKOLOGI: Parahnya kerusakan hutan, punahnya sumber-sumber mata air keanekaragaman hayati, perubahan iklim secara ekstrem, pencemaran udara, pencemaran laut pencemaran daerah aliran sungai dan perusakan kawasan masyarakat akibat kecerobohan industrialisasi, penggunaan bahan kimia, bahan uranium dan penggunaan teknologi secara massal yang membahayakan keberlanjutan kehidupan manusia dan bumi, serta mengakibatkan bencana alam, banjir, gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor dan rusaknya kawasan pertambangan dan sekitarnya.

B. KRISIS KEMASYARAKATAN: Berkembangnya sikap tidak percaya antar masyarakat kepada pemerintah, lemahnya penegakan supremasi hukum, parahnya dekadensi moral, menguatnya individualisme, hilangnya jati diri bangsa dan menipisnya rasa cinta tanah air, meningkatnya sifat konsumtif hedonisme, penyakit korupsi, penyakit malas dan kegemaran mengambil jalan pintas, yang menghalalkan segala cara dan mengakibatkan banyak kerusakan di muka bumi.

C. KRISIS EKONOMI: Meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan, dan energi nasional, melemahnya daya saing produk dalam negeri akibat penetrasi pasar global.
II. Meraspon semangat dan ikhtiar warga nahdliyin di seluruh Indonesia untuk menyelamatkan bumi, menyelamatkan kehidupan umat manusia dan menyelamatkan keutuhan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), melalui usaha pelestarian hutan, penyelamatan lingkungan dan usaha memakmurkan kehidupan masyarakat yang berdaya saing, bersemangat kerakyatan dan berkelanjutan sebagai perwujudan ajaran Islam rahmatan lil’alamin.

MENIMBANG:

A. Bahwa untuk mempertahankan dan menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), melindungi lingkungan hidup, memperbaiki moral dan sosial ekonomi masyarakat, menurut ajaran Islam adalah WAJIB.

B. Bahwa pihak-pihak yang telah menyebabkan terjadinya krisis ekosistem: mereka yang melakukan pembalakan liar (illegal logging), memprovokasi konflik pertanahan (land tenure) dan melakukan penebangan yang berlebih (over cutting), memonopoli dan privatisasi air, mencemari air dan sumber air, maupun pihak yang melakukan penetapan tata ruang yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem, melakukan perburuan liar, melakukan pemberangusan keanekaragaman hayati dengan dalih tertentu, menggunakan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan, melakukan pembuangan sampah sembarangan, melakukan kecerobohan dalam pengelolaan sumber daya alam, mereka yang menggunakan bahan kimia, bahan uranium dan menggunakan teknologi secara massal maupun terbatas, yang membahayakan kehidupan masyarakat, mereka yang membangun kawasan perbukitan yang memiliki kemiringan tanah lebih dari 40 % atau daerah resapan air, pihak-pihak yang melakukan over exploitasi dan industri pertambangan yang tidak ramah lingkungan, mereka yang tidak melakukan redistribusi hasil tambang untuk kepentinhan pembangunan masyarakat setempat, telah banyak sekali melakukan kejahatan lingkungan dan melakukan kekejaman yang mengganggu ketentraman umum dan merugikan kehidupan.

C. Bahwa hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-29 tanggal 4 19994/1 Rajab 1415 H di Cipasung Tasikmalaya menetapkan mencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar, maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).

D. Bahwa sikap tidak percaya, individualistis, hilangnya jati diri bangsa dan melemahnya rasa cinta tanah air, sikap konsumtif, dekadensi moral, hedonisme, penyakit korupsi, penyakit malas dan kegemaran mengambil jalan pintas, yang menghalalkan segala cara dan mengakibatkan banyak kerusakan di muka bumi adalah tindakan, sikap dan keadaan yang membahayakan agama, masyarakat, bangsa dan negara.

E. Bahwa pengangguran dan kemiskinan, menurutnya produktifitas dan kreatifitas masyarakat, problematika ketahanan pangan dan energi nasional, berkembangnya praktek monopoli aset ekonomi dan borjusi, melemahnya daya saing produk dalam negeri akibat penetrasi pasar global adalah problematika yang harus dituntaskan bersama oleh para ulama, pemerintah dan masyarakat.

MEMUTUSKAN

1. Pemerintah Republik Indonesia WAJIB bersikap dan bertindak secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberangus penyakit sosial kemasyarakatan, menuntaskan problematika ekonomi serta memerangi praktek-praktek ekonomi yang merugikan masyarakat, bangsa dan negera demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Pemerintah Republik Indonesia WAJIB menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu, mengingat bahwa mencemarkan lingkungan baik udara, air maupun tanah, akan menimbulkan dlarar (kerusakan), hukumnya HARAM dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).

3. Warga NU dan seluruh elemen masyarakat WAJIB menolak dan melawan para perusak hutan, perusak lingkungan hidup, perusak kawasan pmukiman, para pengembang teknologi, pengembanga bahan kimia dan uranium yang membahayakan masyarakat dan lingkungan hidup, para penyebara penyakit sosial, fihak-fihak yang melakukan monopoli ekonomi dan menyebabkan kemiskinan yang merugikan masyarakat, bangsa dan negera.

4. Warga NU dan seluruh elemen masyarakat WAJIB memperjuangkan pelestarian lingkungan hidup (jihad bi’iyah) dengan mengembangkan gerakan menanam dan merawat pohon, mengamankan hutan, melakukan konservasi tanah, air dan keanekaragaman hayati, membersihkan sungai, pantai, lingkungan, perumahan dan kawasan umum, membersihkan kawasan industri dari polusi dan limbah, melestarikan sumber-sumber air dan daerah resapan air, memperbaiki kawasan pertambangan dan lingkungan di sekitaranya, membantu melakukan penanggulangan bencana, melanjutkan perjuangan yang bersifat kemasyarakatan (jihad ijtimaiyah), mengembangkan ajaran moral, tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan amar makruf nahi munkar, jati diri bangsa dan rasa cinta tanah air, produktif dan kreatif, hidup sederhana, anti korupsi, semangat dan gemar melakukan kerja keras dan kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas, melanjutkan perjuangan mensejahterakan masyarakat dalam bidang ekonomi (jihad iqtishodiyah) dengan mengembangkan lapangan kerja, memberdayakan kaum mustadh’afin, meningkatkan produktifitas dan kreatifitas masyarakat, membangun ketahanan pangan dan energi nasional, meningkatkan daya saing produk dalam negeri, menetralisir penetrasi pasar global dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Wallahul Muqaffiq Ilaa Aqwamit Tharieq

Jakarta, 23 Juli 2007

Tausiyah ini disampaikan kepada:
1. Presiden Republik Indonesia
2. Panglima Tinggi Tentara Republik Indonesia
3. Panglima Polisi Republik Indonesia
4. Kepala Kejaksaan Republik Indonesia
5. Pimpinan NU di semua tingkatan
6. warga nahdliyyin
7. Masyarakat umum

« Kembali ke arsip Taushiyah

SUMBER: NU ONLINE

Fatwa MUI tentang Pembakaran Hutan dan Kabut Asap

IJTIMA' KOMISI-KOMISI FATWA MUI WILAYAH IVKALIMANTAN DI BANJARMASIN
KEPUTUSAN FATWA MUI WILAYAH IV KALIMANTAN
No: 128/MUI-KS/XII/2006

Tentang

PEMBAKARAN HUTAN DAN KABUT ASAP
Ijtima' Komisi-Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah IV Kalimantan yang berlangsung di Banjarnmasin pada tanggal 22 Zulqaidah 1427 H bertepatan dengan tanggal 13 Desember 2006 M setelah :

MENIMBANG :
Bahwa akibat dari pembakaran hutan dimusim kemarau untuk memperluas areal perkebunan merusak lingkungan, karena hutan menjadi gundul berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan terjadi banjir; bahwa dampak pembakaran hutan menimbulkan kabut asapa yang mengganggu transportasi laut, darat dan udara, mengganggu kesehatan masyarakat dan mengganggu proses belajar mengajar, bukan hanya di wilayah Kalimantan bahkan kabut asap meluas ke wilayah negara-negara tetangga bahwa untuk mengatasi kebakaran hutan dan kabut asap, MUI merasa perlu menetapkan fatwa tentang hukum membakar hutan, dan lahan untuk memperluas perkebunan yang menyebabkan tersebar kabut asap yang sangat mengganggu aktifitas masyarakat, untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.

MENGINGAT :

AL QUR'AN :
Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam untuk kemakmuran umat manusia, S. Al Baqarah: 29 Artinya: "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu"
Firman Allah tentang pemberian kemudahan bagi umat manusia untuk mengambil manfaatnya, S. Al Jatsiyah: 13
Artinya "Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir"
Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan , S. Al 'Araf: 56
Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut(tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik"
Firman Allah tentang musibah (kebakaran dan kabut asap) disebabkan tangan manusia, S. Asyuuraa: 30
Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahanmu)"
Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah tentang larangan membakar hutan untuk kemaslahatan manusia, S. An Nisa: 59
Artinya "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan Ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (SunnahNya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya".

H A D I S:
Hadis yang menerangkan wajib mentaati pemimpin dan mengikuti peraturan:
Artinya: "Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta mentaati(pemimpin) walaupun seorang yang berasal dari budak bangsa Habsyah" (HR. Ibnu Majah dari Al- Irbadh bin Syariyah)
Hadis yang melarang melakukan apa saja yang dapat merugikan orang lain:
Artinya: "Tidak boleh merugikan orang dan tidak boleh dirugikan orang" (HR. Ibnu Majah dari Abdullah bin Shamit)

KAIDAH-KAIDAH FIKIH:
Pemerintah berkewajiban mengatur masyarakat untuk mewujudkan kemaslahatan umum :
Artinya: "Kebijakan(peraturan) pemerintah dalam mengatur rakyat haruslah berdasarkan kemaslahatan" (AI Asybahu wa Al Nazair :134)
Peraturan pemerintah yang menetapkan hal yang mubah yang dianggap untuk mewujudkan kemaslahatan umum dapat berubah menjadi wajib ditaati:
Artinya: "Pemerintah memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mubah yang dianggap membawa kepada kemaslahatan umum, dan apa yang diperintah (diatur) itu hukumnya wajib ditaati" (Mirast Muqaran : 127)
Peraturan pemerintah tersebut menjadi bagian hukum syara' (agama) yang wajib ditaati oleh semua orang:
Arlinya: "Peraturan pemerintah menjadi bagian hukum syara' ( agama) yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat untuk melaksanakannya" (Mirast Muqaram : 127)

MEMPERHATIKAN:
Pendapat para peserta Ijtima' Komisi-Komisi Fatwa MUI Wilayah IV Kalimantan yang diselenggarakan di Banjarmasin pada tanggal 22 Zulqaidah 1427 H bertepatan dengan tanggal 13 Desember 2006 M.

DENGAN BERTAWAKAL KEPADA ALLAH MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
Pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram.

DITETAPKAN : di Banjarmasin PADA TANGGAL: 22 Zulqaidah 1427 H13 desember 2006 M

IJTIMA' KOMISI-KOMISI FATWA MUI WILAYAH IV KALIMANTANDI BANJARMASIN

KETUA

ttd.

Prof. Drs. H. M. Asywadie Syukur, Lc

SEKRETARIS

ttd.

Drs. H. Rusdiansyah Asnawi, SH

  • Ketua Umum MUI Kalbar Ketua Komisi Fatwa MUI Kalbar
    KH. M. Bachit Nawawi, SH Drs. KH. Arief Hasbillah
  • Ketua Umum MUI Kalteng Ketua Komisi Fatwa MUI Kalteng
  • KH. Wahid Qasimy KH. Anwar Isa, Lc
  • Ketua Umum MUI Kaltim Ketua Komisi Fatwa MUI Kalbar
  • KH. Mujtaba Ismail, MA
  • Ketua Umum MUI Kalsel Ketua Komisi Fatwa MUI Kalsel
    Prof. Drs. HM Asywadie Syukur, Lc Drs. H. Rusdiansyah Asnawi

Monday, August 6, 2007

Colloquium on the Evolution of Islamic Law on the Environment

An international team of Islamic scholars met their counterparts in Jakarta, Indonesia on 21 & 22 June, to engage in a Colloquium on the Evolution of Islamic law on the Environment. The international team which was led by Othman Llewellyn, one of the leading environmental
planners in Saudi Arabia, engaged with their counterparts in Indonesia who were led by people of the calibre of Ahsin Sakho Muhammad the Rector of Institute of Qur'anic Sciences and Prof.
Tengku Muslim Ibrahim the Chairman of the Assembly of Islamic Scholars (MPU) in Aceh. This colloquium was the result of a collaboration between the Islamic Foundation for Ecology and
Environmental Sciences based in Birmingham, England and the Ministry of the Environment in Indonesia supported by Conservation International Indonesia and WWF Indonesia.

This colloquium was possibly the first time when eminent Islamic scholars and activists from as far a field as Africa, Europe, the Middle and Far East came together to discuss what is now developing into a specialism coming to be known as Islamic Natural Resource
Management. The consensus at the colloquium was that :
  • The Qur'anic texts and the hadith literature provided ample
    evidence of the depth of the ecological/environmental teachings
    available to Muslims.
  • This needs to be organised into a format that could rapidly be
    spread and absorbed by Muslim populations throughout the world.
  • Further events of this nature need to be organised especially to
    inform and empower all Islam teachers from the basic madrasa level to
    the classical seminaries to disseminate this knowledge.
  • Other countries should follow the Indonesian example and publish
    more material on this subject.

Participants at the colloquium also felt that as Islam has so much to
offer that is positive in alleviating the environmental crisis Muslim
themselves should now come to the fore and join others in saving the
planet for future generations.

For More Information on Islamic Law and the Environment, see:
http://www.ifees.org.uk/IslamicLawandtheEnvironment.pdf.

Sunday, August 5, 2007

Dunia Islam dan Perubahan Iklim

Fachruddin M Mangunjaya

Staff Conservation International untuk Conservation and Religion Initiative

Pemanasan global dan perubahan iklim bukan saja mengkhawatirkan masyarakat di Barat, tapi juga mengundang kepedulian akan dampaknya di dunia Islam. Pada 21-22 Juni lalu, para cendekiawan Muslim yang terlibat dalam aktivitas lingkungan dari Afrika, Timur Tengah, Inggris, dan Asia Selatan telah duduk bersama berdiskusi dengan para ulama lingkungan di Indonesia. Pertemuan ini menjadi perjumpaan awal guna menggagas formulasi yang bisa diadopsi dan digunakan oleh komunitas Islam dalam mempersiapkan aksi untuk mengurangi krisis lingkungan secara global. Berkumpulnya para cendekiawan Muslim Islam itu mendiskusikan pemikiran tentang tanggapan dunia Islam terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di berbagai negara Muslim. Dampak perubahan iklim mungkin menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan yang ada di bumi ini terutama di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim.

Misalnya, krisis air di Timur Tengah akibat keringnya sungai-sungai di Mesopotamia dan Kasmir, dapat mengakibatkan kesulitan besar dan memicu peperangan. Pemanasan global juga diperkirakan akan mengancam peningkatan banjir di beberapa tempat di kawasan Muslim seperti Bangladesh. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah peningkatan luas penggurunan di Sub Sahara Afrika , yang dapat memicu krisis pangan dan kelaparan seperti yang baru saja terjadi di Nigeria.

Di samping itu, dunia Islam seperti Iran, Irak, dan negara-negara Timur Tengah lainnya termasuk, Mesir, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat, Kuwait, danTurki juga mempunyai persoalan pengelolaan lingkungan hidup mereka. Richard Foltz (2005) dalam Environmentalism in the Muslim World melukiskan bahwa krisis lingkungan dalam bentuk lokal dan global, yang paling parah menimpa masyarakat miskin dunia, yang kebanyakan adalah Muslim. Mayoritas Muslim memang berada di negara-negara berkembang yang masalah-masalah lingkungannya semakin parah.

Sebagaimana bagian dunia Islam yang lain, Indonesia, tentu menghadapi problem lingkungan serupa. Negeri ini, misalnya, dalam dekade terakhir tidak henti-hentinya dirundung berbagai bencana lingkungan. Hal itu terjadi akibat kerusakan dan perubahan ekosistem yang luar biasa akibat perlakuan tidak ramah terhadap sumber-sumber daya alam yang selama ini menjadi tumpuan pendapatan ekonomi. Penebangan hutan dan pemamenan hasil-hasil alam dilakukan dengan cara yang tidak sehat, bahkan melanggar norma.

Perubahan iklim, di samping telah dirasakan dengan adanya penambahan curah hujan 2-3 persen setiap tahun, juga menyebabkan meningkatknya permukaan laut di teluk Jakarta setinggi 0,57 cm per tahun. Di samping itu, perubahan iklim ini juga akan berdampak terdahap produktivitas lahan akibat sebagian pinggir pantai terendam, yang berdampak pada penurunan 95 persen kemampuan lokal dalam produksi padi (Purnomo, 2007).

Ajaran lingkunganMasalahnya, sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit (dengan penduduk mayoritas Muslim), harus berhadapan pada dualisme keadaan. Di satu sisi pembangunan ekonomi di negara itu bertumpu pada pengurasan kekayaan sumber daya alam, dan di sisi lain keadaan lingkungannya sangat cepat berubah sehingga menimbulkan krisis. Perdebatan sesungguhnya masih berkembang pada pertanyaan, apakah negara-negara miskin dan berkembang itu diharuskan pula mengambil peran untuk menjaga lingkungannya, sementara penyebab utamanya adalah negara-negara industri maju?

Memang, dunia Barat lah yang menjadi penyebab awal terjadinya krisis ini, dan semua industri yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan adalah berawal dari adanya produk negara-negara industri yang berbasis pada ajaran ekonomi kapitalisme Barat. Pemaksaan nilai-nilai budaya Barat inilah yang mengakibatkan penularan krisis lingkungan yang terjadi di dunia ketiga.

Dalam sebuah wawancara, Ayatollah Musavi Ardebili di Qom, Iran telah mengingatkan masalah ini. "Alasan mengapa pabrik-pabrik kita begitu mencemari karena kalian orang-orang Amerika tidak hanya menjual pabrik-pabrik usang kepada kami, kalian juga telah menghambat pertumbuhan ekonomi kami sehingga kami tidak mampu membeli tekonologi yang lebih bersih," tutur dia.

Ironi lain yang dijumpai secara kasat mata adalah dalam konsumsi energi yang tinggi penduduk negara-negara kaya, yang menyebabkan pelepasan karbon ke udara menjadi sangat tinggi. Sebagai perbandingan, seorang yang hidup di negara Muslim mengonsumsi sebahagian kecil energi dan materi yang dikonsumsi orang-orang di negara-negara industri, dengan dampak lingkungannya jauh lebih sedikit. Konsumsi energi komersial per orang di sebuah negara industri yang tingkat konsumsinya tinggi, menghabiskan rata-rata 18 kali energi dibandingkan satu orang di negara yang tingkat konsumsinya rendah. Padahal, negara-negara yang tingkat konsumsinya rendah ini dihuni tiga perempat penduduk bumi. (Llewellyn, 2003).
Sayangnya, pendekatan yang dilakukan selama ini untuk menggalang kesadaran lingkungan di negara-negara Muslim justru kebanyakan diadopsi berdasarkan pengetahuan dari Barat. Begitu pula adopsi sistem kawasan lindung termasuk konservasi hutan (taman nasional) dan manajemen kawasan-kawasan konservasi, banyak mengambil pelajaran dari sistem Amerika Utara.

Sebab itulah para ahli lingkungan dan konservai Muslim berupaya untuk menggali ajaran Islam tentang lingkungan hidup. Sekarang, telah tampak jelas ajaran tentang lingkungan dalam Islam (Islamic environmentalism) sangat menganjurkan perawatan sumber daya alam yang baik dan mempunyai basis ajaran yang sangat mendalam. Allah SWT memberikan amanat kepada semua manusia untuk memelihara dan tidak merusak bumi beserta isinya setelah Dia menyempurnakannya.

Perlu ijtihadMasalah lingkungan terkini dan yang dijumpai di dunia Muslim adalah tantangan yang harus dihadapi cendekiawan serta generasi fuqaha. Oleh sebab itu adalah hal yang wajar apabila para cendekiawan Muslim yang mengetahui urusan ekologi dan para ulama yang menguasai bidang Islam, dapat duduk bersama seperti halnya kolukium fiqh al biah tersebut. Bagi Indonesia, menghadapi dan menjadikan agenda lingkungan menjadi sangat urgent sifatnya ketika umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas.

Forum seperti ini dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara disiplin hukum Islam lingkungan dan profesi cendekiawan Muslim yang lain di bidang lingkungan dan konservasi. Jadi, perjumpaan awal para cendekiawan lingkungan Muslim dan fuqaha merupakan rintisan akan perlunya hukum lingkungan yang tidak hanya memerlukan keputusandan preseden hukum dari abad-abad yang telah, tetapi juga perlu penerapan rinci, praktis dan kreatif atas kejadian lingkungan kita yang spesifik. Dalam kata yang lebih lugas, kondisi lingkungan kita sekarang ini memerlukan sebuah ijtihad. ***

dikutif dari Republika 3 Agustus 2007