Oleh: Fachruddin M. Mangunjaya
Ditengah kontroversi fatwa dan kekisruhan antar agama, saya baru saja menjalankan kegiatan positif dalam konteks sebuah penyadaran untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat, bahwa kita memerlukan alam, lingkungan dan ekosistem yang baik. Kegitan lingkungan yang ini bukan dengan pendekatan biasa, melainkan melalui agama. Kami mengumpulkan pemuka agama Islam di daerah, mereka adalah imam masjid, aktifis NGO, tokoh masyarakat dan stakeholder terkait dengan spiritual dan budaya masyarakat setempat.
Fokus kegiatan kami adalah di Taman Nasional Wakatobi, tujuh jam pejalanan dari kota Baubau, Buton Sulawesi Tenggara. Taman nasional wakatobi diresmikan pada tahun 2002. Dengan luas kawasan 1.390.000 hektar ha. Setelah tiga tahun berjalan sejak Surat Keputusan Menteri Kehutanana ditanda tangani, karena ada pemekaran, wilayah Taman Nasional Wakatobi yang terdiri dari empat pulau besar: Wanci, Keledupa, Tomiya dan Binongko, itu kini menjadi bagian sebuah kabupaten yang sebuah kabupaten baru.
Rencana sebuah taman nasional yang diharapkan menjadi asset sebagai kawasan konservasi dengan perlakuan khusus dan pemanfaatan yang terbatas, sepertinya terhambat dengan adanya gagasan baru –pendirian kabupaten. Para konservasionis tentu sangat khawatir bahkan kecewa dengan kondisi seperti ini. Sebab, kawasan konservasi, bagaimana pun juga, merupakan kawasan khusus yang harus dikelola secara hati-hati untuk menjaga asset alamnya agar tidak rusak.
Kekhawatiran sebagian ahli konservasi cukup berdasar: Pertama, ketika pemerintah daerah, yang diberikan kewenangan untuk mengembangkan daerah, sudah tentu akan melirik sumberdaya alam yang ada untuk di ekplorasi sebagai sumber utama pendapatan asli daerah (DAU). Artinya akan ada tekanan baru terhadap sumberdaya alam yang ada di kawasan taman nasional, dan ini menimbulkan ancaman bagi kelestarian kawasan itu. Kedua, pihak taman nasional harus menata ulang zonasi yang ada di taman nasional ini untuk menyelaraskan konsep pelestarian dengan kehendak pemerintah daerah dalam menata ruang pemanfaatan di daerahnya.
Ketiga, diperlukan investasi besar untuk menetapkan dimana saja penataan kawasan penting dan pemanfaatan yang tidak merusak di kawasan tersebut. Karena biasanya penetapan kawasan harus disertai alasan saintifik yang memerlukan penelitian para ahli.
Sebaliknya, bagi masyarakat di daerah, pengembangan kabupaten ini direspon dengan antusias, sebab, mereka bisa menyelesaikan perkara daerah mereka sendiri secara cepat, karena pengambilan kebijakan terkadang terkendala dengan jarak antar pulau yang jauh.
Birokrasi perijinan dapat diperpendek, masyarakat dapat mengembankan perekonomian. Selain itu, pembagian hasil pendapatan didaerah masing-masing dapat menjadi subsidi berkembannya proyek-proyek baru pengembangan infrastruktur di kabupaten. Peluang kerja sektor pembangunan fisik berkembang di daerah. Jalan-jalan langsung dibangun begitu pula fasilitas publik yang lain.
***
Disamping itu, telah lama diketahui, kemiskinan rakyat di pesisir telah pula memicu pengurasan sumber daya alam yang luar biasa akibat pengaruh budaya konsumerisme dan informasi, menyebabkan masyarakat berpikir instant: menggunakan pemancingan illegal dengan cara bom, menambang batu karang untuk bahan bangunan, membubuhkan potassium untuk menangkap ikan. Membom ikan, di beberapa tempat di kawasan Wakatobi, menjadi perkara yang lumrah sejak beberapa tahun terakhir, sebab, masyarakat yang sadar tidak mempunyai keupayaan mengontrol dan prasarana law enforcement sama tidak berdaya untuk menghentikan perilaku masyarakat karena jarak yang tidak terjangkau. Selain itu, keminskinan tampaknya mendorong mereka untuk melakukan pengurasan sumberdaya secara instant.
Dalam berbagai kasus, memang ternyata ilmu pengetahuan, penegakan hukum (law enforcement) ternyata tidaklah cukup untuk menanggulangi persoalan lingkungan dan kerusakan ekosistem. Buktinya, persoalan lingkungan semakin bertambah kompleks sejalan dengan beratnya persoalan hidup yang harus dihadapi oleh masyarakat: pertambahan penduduk, terbagtasnya lowongan kerja, bertambah sempitnya lahan sehingga tidak mudah untuk mengrusakahan mengupayakan pertanian yang mampu menghasilkan makanan dan uang untuk bertahan hidup.
Di kawasan Wakatobi, masyarakat Bajau yang biasanya hidup subsisten di laut dan menetap di perahu, pada akhirnya menginginkan menetap secara permanen di pulau tetapi tidak berkeupayaan untuk mendapatkan tanah atau membeli lahan di daratan yang telah dikuasai oleh penduduk asli pulau. Akhirnya secara “kreatif” orang-orang bajau menggali batu karang dari laut dan memindahkan pasir membuat perkampungan mereka sendiri dengan mereklamasi pantai yang kosong, menyulapnya menjadi lahan yang dapat di huni dengan luas puluhan hectare.
Persoalan baru tentunya timbul dengan intensifnya penambangan batu yang dikhawatirkan akan merusak tempat tinggal ikan-ikan karang yang menjadi sumber pencarian mereka sendiri. Kerusakan ekosistem ini tentu berdampak pada pencarian mereka dengan menurunnya hasil tangkapan dan kesulitan mendapatkan ikan dengan kualitas yang diinginkan.
Alasan strategi ini dilakukan adalah karena penanggulangan masalah lingkungan memerlukan kesadaran kolektif warga negara. Sedangkan di kawasan dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, pada umumnya mempunyai akar kuat pada tradisi di dan sudah tentu tidak dapat didekati dengan pendekatan yang terlalu ilmiah—seperti halnya, penyadaran lingkungan yang dilakukan di negara maju—tetapi hendaknya menggunakan pendekatan spiritual atau agama.
Alasannya, bahasa-bahasa yang digunakan agama –selain memiliki pesan moral yang kuat—juga memberikan peringatan –yang keras--akan konsekwensi apabila ajaran tersebut diabaikan. Manusia boleh saja melanggar peraturan yang mereka buat, tetapi dalam persoalan lingkungan, Tuhan telah memberikan rumus bahwa bumi berjalan diatas sunnatullah (secara ilmu di katakan: hukum alam). Konsekwensinya siapa saja yang melanggar hukum Tuhan akan merasakan akibatnya. Sebagai contoh, (1) keserakahan manusia yang menebang hutan, sebagai ganjaran –akibatnya adalah: banjir, kekeringan dan pemanasan global.(2) kecerobohan menangkap ikan dengan menggunakan potassium –racun sianida—dan bom, mengakibatkan terumbu karang –tempat ikan tinggal—mati dan hasil tangkapan berkurang. Dengan demikian rizki yang diperoleh sebagai tangkapan nelayan akan berkurang.
Menguraikan kebijakan tersebut, para ilmuwan (scientist) hendaknya bersatu dengan ahl-ahli agama, untuk menjabarkan dan memberikan peringatan kepada warga Negara dengan memberikan alasan-alasan sains mengapa manusia dilarang membuat kerusakan dan mengelola lingkungan di bumi. Selain itu, tentunya, harus ada alasan saintifik pengambilan kebijakan pembangunan lingkungan dengan memberikan kesempatan ahli agama memberikan masukan, sehingga dalam taraf sosialisasi, masyarakat mendapatkan jaminan bahwa pembangunan tersebut mempunyai manfaat (maslahat) dalam kehidupan mereka dan kehidupan agama yang mereka jalankan.
Spiritualitas agama kembali dipertimbangkan oleh para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia. Dalam dua dekade terakhir setidaknya ada upaya para ilmuwan dan ahli agama untuk bersatu untuk menyikapi situasi lingkungan kita. Pertama, dalam sebuah pertemuan pemimpin agama dan sains yang disebut: ‘Join Apppeal by Religion and Science for the Environment,” yang diadakan bulan Mai 1992 di Washington, D.C. Para ilmuwan dan pemimpin agama salah satunya menyatakan: “Kami yakin bahwa sain dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan yang terjadi di bumi.
Tetapi kami yakin bahwa dimensi krisis ini sebenarnya tidak sepenuhnya diambil hati oleh para pemimpin kita yang memimpin lembaga-lembaga penting dan juga pemimpin industri. Namun demikian kita menerima kewajiban kita untuk membantu memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap jutaan orang yang kita layani dan ajarkan mengenai konsekwensinya apabila terjadi krisis lingkungan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini” (Calvin B. DeWitt, The Good in Nature and Humanity in Stephen R, Kellert dan Timothy J Farnham, 2002).
Kedua, pertemuan pemimpin agama-agama di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun 1986 ini bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan: “Deklarasi Assisi” dimana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam:
“Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidak perduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan.” (Budha).
“Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu).”
“Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya,” (Kristiani)
“Manusia adalah pengemban amanah,”berkewajiban untuk memelihara keutuhan CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli,” (Muslim)
Ketiga, di tingkat regional, Indonesia menyelenggarakan hal yang sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan The World Bank mengundang pemuka-pemuka agama mengadakan Conference on Religion and Conservation pada 18 Desember 2002, yang menghasilkan ‘Kebun Raya Charter’ yang intinya melibatkan peran para pemuka agama dan ulama dalam menanggulangi permasalah konservasi alam dan lingkungan hidup.
Walhasil, sikap dan keteladanan pemimpin Agama dalam memelihara lingkungan dan kelestarian alam perlu kembali dilihat, misalnya dalam Islam banyak sekali Wisdom (kearifan) Rasulullah SAW, dalam menghormati makhluk hidup:sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi SAW mengur sahabatnya yang dalam pada saat perjalanan mereka menangkap anak burung yang berada di sarangnya. Ketika merasa kehilangan anak, induk burung itu pun mengiringi—terbang diatas rombongan –Rasullullah. Ketika menyaksikan hal it nabi bersabda: “Siapakah yang menyusahkan burung ini dan mengambil anaknya?Kembalikan anan-anaknya padanya.” (hadits riwayat Abu Daud)
Dalam umat Kristiani (Katholik) dikenal Santo Francis Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa:” Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang kemana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungi mu dari mara bahaya dan mengatur hidupmu tanpa kamu merasakannya.” ****