Wednesday, September 19, 2007

Fikih Lingkungan dan Kearifan Lokal

Oleh MUCHSIN AL-FIKRI

"Kebersihan adalah sebagian dari iman."

"Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan" (Al-Hadis).

DPRD Kota Bandung saat ini tengah menggodok dan membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3). Raperda ini merupakan revisi dari Perda No. 6 Tahun 1995 tentang K3 yang sudah dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan kota dan tuntutan sosial kemasyarakatan.

Dibandingkan Perda No. 06/1995, Raperda yang berisi sebelas bab dan 51 Pasal ini lebih lengkap mengatur berbagai problematika dan penyakit sosial yang sering menghiasi kehidupan kota-kota metropolitan, seperti problem anak jalanan, pengamen, gepeng, PKL, pelacuran, perjudian, pencemaran, vandalisme, dan lain-lain. Selain itu yang terasa menonjol pada raperda ini adalah besaran sanksi dan denda bagi para pelanggar yang relatif besar berkisar seratus ribu hingga Rp 50 juta.

Pemkot Bandung kini tengah gencar-gencarnya menertibkan PKL, becak, bahkan pejalan kaki di berbagai sudut kota, terutama di tujuh titik. Meskipun pemkot harus merogoh kocek relatif besar (Rp 14.000.000/hari) dan harus kucing-kucingan dengan para pelanggar, namun tampaknya wali kota tetap bergerak menertibkan PKL, pengemudi becak dan pejalan kaki. Hasilnya cukup menggembirakan; kemacetan berkurang, pemandangan kota lebih indah, pejalan kaki bisa lebih leluasa bergerak di trotoar. Sebagai bangsa beradab, seluruh warga Bandung tentu sangat mendambakan sebuah kota yang tertib, bersih dan indah. Kebersihan yang didambakan warga kota bukan hanya sebatas bersih lahiriah, namun yang lebih penting adalah bersihnya kota dari berbagai penyakit masyarakat, seperti pelacuran, perjudian dan kemaksiatan. Sebab apalah artinya kota bersih dari sampah sementara "sampah sosial" tetap berkeliaran di kota. Kelahiran Perda K3 yang kini sedang dibahas DPRD, diharapkan dapat membantu dan lebih mempercepat terwujudnya Kota Bandung yang bermartabat.

Jargon agama dan kemiskinan infrastruktur
Raperda ini diluncurkan saat kondisi sosial ekonomi warga Bandung berada dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Ditambah lagi masih rendahnya kesadaran warga akan pentingnya K3 serta miskinnya infrastruktur kota.

Meskipun warga Kota Bandung mayoritas beragama Islam, namun kesadaran atau refleksi keberagamaan dalam bidang K3 dirasa masih minim. Padahal secara konsep, agama Islam mengajarkan ketertiban, kebersihan, dan keindahan seperti bunyi hadis di atas. Sayangnya, mutiara hadis di atas hingga kini belum mampu mewarnai kehidupan seluruh warga kota Bandung dan belum menjadi bagian dari budaya lokal mereka. Penghayatan keagamaan baru terfokus kepada pelaksanaan fikih ibadah mahdloh seperti salat, saum, zakat, dan haji, sementara fikih-fikih lainnya seperti fikih politik, ekonomi atau lingkungan masih terabaikan.

Merupakan tugas para ulama dan para pemuka agama untuk menggagas serta memasyarakatkan fikih lingkungan pada masyarakat. Perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa membuang sehelai sampah ke tempatnya atau membuang duri dari jalanan itu adalah ibadah. Atau keyakinan bahwa berjualan di atas trotoar itu termasuk mengambil hak para pejalan kaki yang diharamkan agama. Selain fikih lingkungan yang berlatar keagamaan, perlu juga dihidupkan kembali "kearifan lokal" yang berlatar budaya Sunda. Keduanya perlu dipadukan secara harmonis dan dinamis.

Biasanya penyadaran dengan menggunakan "kearifan lokal" lebih efektif ketimbang menggunakan pendekatan struktural ataupun sistem sanksi atau denda. Meskipun pendekatan model ini memerlukan kesabaran dan waktu yang cukup panjang.
Namun, infrastruktur kotanya ternyata masih jauh dari memadai untuk mengantisipasi diberlakukannya perda ini, seperti belum tersedianya tempat rehabilitasi bagi tuna sosial, pengemis, pengamen, dan tunasusila.

Kemudian TPS (Tempat Pembuangan Sampah) yang jumlahnya juga masih minim, JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) yang hanya ada di jalan-jalan tertentu, trotoar yang sempit karena belum ditata, ditambah lagi tidak berfungsinya shelter dan halte bis. Semuanya serbadarurat dan terkesan serbadipaksakan. Maka jika raperda ini tetap dipaksakan untuk disahkan, saya khawatir akan merugikan bahkan mengorbankan masyarakat. Satu tindakan yang tidak adil jika masyarakat ditertibkan sementara penyediaan sarana umum yang menjadi kewajiban pemerintah belum direalisasikan. Bagaimana mungkin warga yang membuang sampah di jalan akan dihukum sementara pemkotnya tidak mampu menyediakan TPS di jalan tersebut.

Selain faktor kesadaran dan dukungan infrastruktur kota, yang tak kalah penting adalah faktor kesejahteraan. Di negara-negara yang tingkat kesejahteraan warga kotanya relatif bagus, apa pun latar belakang agama dan keyakinannya, kesadaran dan apresiasi terhadap K3 cukup tinggi. Sebut saja negara Singapura dan Jepang yang selama ini sering dijadikan maskot keberhasilan pelaksanaan K3, mayoritas penduduknya non-Muslim, namun karena tingkat kesejahteraan warganya relatif bagus, mereka berhasil mewujudkan kota yang tertib, bersih, dan indah. Sebaliknya, di negara-negara yang mayoritasnya penduduknya beragama Islam termasuk Bandung, namun karena tingkat kesejahteraan warganya masih jauh dari ideal, sangat sulit mewujudkannya jadi tertib, bersih, dan indah.

Salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian serius bagi para pembuat Perda K3 adalah masih lemahnya aspek penegakan hukum dari aparat berwenang di Kota Bandung, baik dari aparat kepolisian, Satpol PP ataupun aparat penyidik umum/penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Akibat dari belum terpenuhinya persyaratan pemberlakuan sebuah perda, kini sudah mulai muncul suara-suara yang menghendaki agar raperda ini ditangguhkan pemberlakuannya, karena dikhawatirkan tidak akan efektif dan hanya berlaku di atas kertas dan tidak membumi di Kota Bandung.

Namun menangguhkan pembahasan dan penetapan raperda ini pun bukanlah jalan keluar yang baik, mengingat kebutuhan untuk penataan kota dipandang mendesak.
Solusinya adalah pemkot harus menetapkan wilayah percontohan di beberapa ruang Kota Bandung, seperti halnya tujuh titik yang selama ini menjadi objek penertiban. Jika semua pihak menyadari akan pentingnya K3 ini, insya Allah tidak akan terlalu lama lagi warga kota Bandung akan segera memiliki sebuah kota yang tertib, bersih, dan indah.***

*)Penulis, Anggota Pansus Raperda K3 DPRD Kota Bandung dari Partai Bulan Bintang.

Sumber: Pikiran Rakyat

No comments: