Wednesday, April 25, 2007

Pesantren dan Krisis Lingkungan

Oleh : Eman Hermawan
Wakil Sekjen DPP PKB, Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa (DKN Garda Bangsa).

Pada 26 Februari 2007 lalu, di Denpasar Bali, Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) mendeklarasikan diri sebagai Partai Hijau. PKB berkomitmen untuk menjadi partai politik yang peduli terhadap masalah lingkungan hidup dan menyerukan perlunya gerakan nasional dan komitmen para pemimpin untuk memahami dan mengatasi krisis lingkungan saat ini.Gerakan yang diambil PKB didasari keinginan untuk menghidupkan kembali kesadaran tentang pentingnya kepedulian terhadap lingkungan yang mengalami kerusakan dalam derajat yang semakin memprihatinkan. Karena menyangkut kehidupan masyarakat dan peradaban manusia di masa depan, maka gerakan itu tidak lagi diletakkan dalam kerangka simbolis, tetapi menjadi titik awal untuk membangun kerangka kerja yang bersifat menyeluruh dan berkesinambungan.

Krisis lingkunganGerald Foley dalam bukunya 'Global Warming: Who Is Taking the Heat' (1991) menyatakan krisis atau kerusakan lingkungan ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi akibat penebalan lapisan CO2, penipisan lapisan ozon (O3) sebagai dampak dari rumah kaca. Tanda lainnya adalah rawan pangan, permukaan air laut yang makin tinggi, gangguan ekologi, dampak sosial politik, dan perubahan-perubahan iklim yang tidak menentu.Terjadinya berbagai bencana di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir merupakan indikasi nyata bahwa krisis lingkungan sudah menjadi ancaman serius bagi bangsa ini.

Kalau hari ini tidak ada kesadaran dan kebijakan pimpinan nasional yang bersifat preventif, maka krisis lingkungan akan semakin parah dan berbagai bencana akan terus menjadi ancaman bagi masa depan bangsa.Dalam konteks ini, masalah krisis lingkungan berikut penanggulangannya terkait dengan masalah kultur dan kebijakan. Persoalan lingkungan muncul sebagai konsekuensi logis dari sikap manusia yang memperlakukan alam sebagai lingkungan yang tidak hidup.

Cara pandang dan sikap demikian menjadikan alam hanya sebagai objek eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ditopang oleh pembangunan yang berwatak teknokratis selama ini, eksploitasi alam dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional dan pertumbuhan ekonomi, sementara upaya-upaya pemeliharaan dan konservasi terhadapnya dinomorduakan.Tuntutan terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menjadikan pemerintah tidak cukup kuat dan konsisten menerapkan kebijakan yang peduli terhadap lingkungan. Keinginan untuk menghadirkan investasi guna menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran lebih didahulukan daripada konsistensi untuk menerapkan peraturan yang bersifat protektif terhadap kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistemnya.

Peran pesantrenSalah satu komponen masyarakat yang diharapkan bisa berperan aktif dalam upaya konservasi alam dan lingkungan adalah pesantren. Menurut data Education Management and Information System (EMIS) Departemen Agama RI, tahun 2001 di seluruh Indonesia terdapat 11.312 pesantren dengan jumlah santri sebesar 2.737.805 jiwa. Dari jumlah tersebut, 78 persen atau 8.829 pesantren berada di pedesaan. Sedikitnya 2.429 pesantren berlokasi di daerah pertanian dan 1.546 berada di daerah pegunungan. Dan 50 persen pesantren berlokasi di daerah permukiman.Dengah fakta seperti itu, pesantren merupakan salah satu komponen strategis bangsa yang bisa berperan efektif dalam upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan.

Dengan jumlah sumber daya yang cukup besar dan keberadaannya yang sangat dekat dengan masyarakat memungkinkan pesantren menjadi pusat rujukan dan lokomotif dalam upaya dan sosialisasi pentingnya kepedulian dan penanganan masalah lingkungan.Ditunjang oleh kesadaran teologis tentang eksistensi alam dan lingkungan sebagai milik Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan untuk kepentingan bersama di masa kini dan mendatang, kepedulian terhadap lingkungan akan jauh lebih bermakna bagi kalangan pesantren. Kepedulian demikian juga ditopang oleh adanya perintah hukum syariat yang bersifat imperatif, sehingga kesadaran dan kepedulian terhadap masalah lingkungan akan lebih kuat dan mendalam.

Bagi PKB sendiri, upaya menghadirkan pesantren sebagai salah satu pusat rujukan dalam gerakan peduli lingkungan mempunyai alasan yang sangat mendasar. Pertama, PKB mempunyai hubungan yang bersifat histroris, kultural, dan aspiratif dengan pesantren. Aktivitas tersebut bisa menguatkan hubungan itu dan memberdayakan pesantren.

Kedua, ketika pemerintah lebih memfokuskan kebijakannya pada upaya-upaya pembangunan yang bersifat teknokratis untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, partai-partai terus dikejar target untuk memenangkan agenda politik jangka pendek, persoalan lingkungan terabaikan. Bahkan ada kecenderungan untuk mempolitisasi bencana alam sebagai akibat kerusakan lingkungan untuk kepentingan politik bagi elite-elite partai dan pemerintahan.Dalam kondisi demikian, PKB bermaksud mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh para pelaku bisnis dan politik akibat sikap permisif, pragmatis, dan hedonistik yang berkembang subur di kalangan mereka.

Di satu sisi, PKB akan membangun kebersamaan untuk memperjuangkan terwujudnya suatu kebijakan dan aturan hukum yang bersifat antisipatif dan protektif terhadap masalah lingkungan hidup. Dalam hal ini, harus ada desakan dan sekaligus dukungan terhadap pemerintah untuk 'memaksa' dunia bisnis agar menjalankan praktik-praktik usaha yang prolingkungan.Sementara dari sisi lain, PKB terus berupaya mendorong partisipasi masyarakat, khususnya pesantren, sebagai bagian integral dari gerakan menyeluruh untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

Dua arah gerakan lingkungan ini diharapkan akan bisa melahirkan kepedulian yang lebih nyata, sinergis dan akumulatif serta berdampak luas terhadap masalah krisis lingkungan. Suatu krisis yang kalau tidak ditangani dengan baik dan diselesaikan di masa kini akan melahirkan bencana yang lebih besar di masa depan.

Dikutif dari: Republika 21 April 2007

Saturday, April 7, 2007

Teologi dan Konservasi Ekologi

Oleh Muhamad Ali

SELAIN fenomena iklim global, faktor-faktor seperti pembangunan rumah yang impermeable, tata kota yang amburadul, perusakan alur sungai alamiah, dan pelanggaran undang-undang yang mengamankan kawasan-kawasan tertentu menjadi immediate causes banjir masif yang melanda Jakarta dan daerah lain kali ini. Karena itu, penyuluhan konservasi sumber daya air, pencegahan banjir, dan pentingnya hutan sebagai bagian sistem daerah aliran sungai (DAS), land reform, dan penataan pembangunan kota dianggap sebagai jalan keluar. (Gatot Irianto, Orang Jakarta Tenggelamkan Jakarta (Kompas, 31/01/02)

Meski demikian, musibah banjir kali ini dapat menjadi momentum bagi suatu kerja kolektif. Pencegahan banjir tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus melibatkan beragam pendekatan yang tepat. Selain solusi teknis itu memerlukan landasan teologis yang kuat, masalah banjir dan berbagai kerusakan lingkungan tidak dapat dipecahkan melalui pendekatan teknis semata. Kerusakan ekologis sebenarnya juga disebabkan kesalahan pendekatan teologis terhadap alam, sebab ekologi adalah bagian dari weltanschauung religius.

Lynn White Jr pernah mengkritik, weltanschauung agama-agama moneteistik tidak bersahabat dengan alam. Menurut dia, penafsiran agama bahwa posisi manusia superior di atas alam sehingga eksploitasi alam menjadi sakral, merupakan akar masalah ekologi sekarang. Yang berkembang adalah etika mengeksploitasi, bukan etika melindungi.

Graham Parkes dari University of Hawaii berpendapat, pandangan keagamaan suatu kelompok masyarakat amat berpengaruh dalam menentukan sikap dan perilaku mereka terhadap alam dan lingkungannya. Ada world view yang mempengaruhi sikap kurang bersahabat dengan alam. Pertama, latar belakang filsafat Platonik yang menganggap dunia fisik (physical world) tidak berwujud.

Kedua, ajaran agama yang menempatkan alam dan lingkungan pada posisi yang lebih rendah dari manusia, sehingga layak dieksploitasi sekehendak manusia. (Alwi Shihab, Islam Inklusif, 1998)

Pendapat White dan Parkes itu merupakan tantangan bagi agama-agama, sekaligus tidak berarti meremehkan pentingnya pendekatan spiritual dan agama yang ramah ekologi. Teologi agama-agama bisa saja sejalan dengan atau mendukung konsep seperti skenario sehat, humanistik, dan ekologis (SHE) yang ditawarkan James Robertson dalam bukunya The Sane Alternative: A Choice of Future (1983).

Isu lingkungan juga dapat mempertemukan agama-agama. Teologi ekologi lintas agama yang melihat lingkungan sebagai bagian dari sistem holistik Ketuhanan mendesak dikembangkan. Sayangnya, di tingkat dunia, World Charter for Nature (WCN) PBB 1982 dan Earth Summit di Rio de Janeiro 1992, belum menyentuh dimensi teologi dan spiritual. Teologi baru dilibatkan ketika ada Deklarasi Asisis tahun 1976 dan Islamic Principles for the Conservation of the Natural Environment (IPCNE) tahun 1983.

Di Indonesia kerja bareng lintas agama dalam isu lingkungan belum terdengar lagi setelah Workshop Traditional Belief and Religious Approaches to Environmental Preservation tahun 1994 di Jakarta dan Jawa Timur.

Krisis ekologi=krisis spiritual
Banjir kali ini menunjukkan krisis ekologi, dan krisis ekologi pada dasarnya adalah krisis spiritual. Bencana alam tidak bisa dialamatkan pada fenemona alam semata. Eksploitasi eksesif, perusakan habitat, konsumsi eksesif, dan penyalahgunaan sumber-sumber daya alam hanya dilakukan manusia yang mengalami kekeringan spiritual.

Banjir dan kerusakan alam juga merupakan dampak individualisme dan egoisme, selain materialisme yang membuat manusia kering dari kesadaran ekologis. Begitu pula, kepentingan sesaat dan sempit menjadikan manusia tidak peduli dengan integritas dan kesehatan ekosistem Bumi.

Dari sudut pandang teologis, musibah banjir adalah azab Tuhan bagi manusia yang belum jera berbuat kezaliman. Dampak banjir sama sekali melampaui status sosial, suku, atau agama. Banjir adalah tanda manusia tidak bersyukur atas karunia hujan. Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmat-Ku dan bila kamu kufur maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih (Al-Quran: Ibrahim,7).

Ini juga akibat manusia tidak pandai mengambil pelajaran dari sejarah. Padahal, banjir masif pernah memusnahkan kaum Nabi Nuh akibat ulah mereka sendiri. (Al Quran: VII,64).
Tuhan menciptakan alam berikut hukum-hukum kausalnya (law of nature). Dengan hujan, Tuhan membuat tanah yang gersang dan tandus menjadi subur, sehingga tumbuh berbagai tanaman. Namun, Tuhan mengingatkan, bila terjadi kerusakan di muka Bumi, maka itu akibat ulah manusia sendiri.

Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Al Quran: Ar-Rum, 41).

Fritjof Capra dalam The Turning Point: Science, Society and The Rising Culture pernah menekankan, musibah Bumi terjadi akibat pengembangan iptek minus wawasan spiritual. Wakil Presiden Amerika yang lalu, Al Gore, dalam Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit, menyatakan, semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, semakin mantap keyakinan saya bahwa krisis ini tidak lain adalah manifestasi nyata dari krisis spiritual kita.

"Living in Harmony with Nature"
Jawaban teologi menyangkut lingkungan adalah harmoni hubungan manusia dan alam sekitar. Agama Buddha, Tao, Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sakral.
Buddha mengatakan pepohonan dan bumi memiliki semangat Buddha, yaitu kehidupan. Tao mengajarkan hubungan harmonis manusia dan alam. Konfusius menekankan langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup.

Dalam Islam, manusia harus menghargai nilai air sebagai bagian dari struktur keimanan. Dalam sejarah Islam, praktik harim dan hima (tanah yang dilindungi, yang kosong dari bangunan) mencerminkan sikap melindungi lingkungan dan meregulasi penggunaan sarana publik demi kelestarian lingkungan, agar terhindar dari penyalahgunaan dan eksploitasi berlebihan.
Islam juga menekankan, hubungan manusia dan tanah bukan bersifat penguasaan dan dominasi, tetapi pemanfaatan yang terkendali (guided utilisation). Pengembangan tanah (land development) harus sesuai dengan tatanan yang lebih luas dan dalam kerangka kepentingan publik (maslahah). Kepemilikan tanah dan tempat tinggal rakyat juga bukan merupakan exclusive privilege yang tanpa reserve.

Dalam Islam, ada prinsip "jangan merusak" (la darara wa la dirara), prinsip taskhir (wewenang menggunakan alam guna mencapai tujuan penciptaan) dan prinsip istikhlaf (wakil Tuhan di bumi yang bertanggung jawab, responsible trusteeship). Ziauddin Sardar lebih jauh menggabungkan prinsip-prinsip tauhid, khilafah, amanah, halal, dan haram, dengan keadilan, moderasi, keseimbangan, harmoni, istihsan (preference for the better) dan istislah (public welfare).
Parvez merangkum teologi ekologinya menjadi tauhid, khilafah, amanah, syariat, keadilan, dan moderasi. Sementara Sayyed Hossein Nasr menekankan prinsip keseimbangan (equilibrium). Pemikiran teologis ini bermuara pada satu pesan, living in harmony with nature.

Hubungan manusia dan lingkungan dilihat sebagai bagian dari hubungan interaktif antara semua ciptaan Tuhan, yang dibentuk berdasarkan prinsip berserah diri kepada Tuhan yang sama. Berserah diri tidak semata-mata praktik ritual, karena kebaktian bersifat simbolik. Kesadaran manusia akan kehadiran Tuhan harus dibuktikan melalui perbuatan nyata dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitar.

Begitu banyak bencana alam dan degradasi lingkungan disebabkan ketidaktahuan dan kelalaian kita tentang tuntunan agama. Kita tidak sadar bahwa konservasi lingkungan adalah kewajiban agama.
* Muhamad Ali, dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
dikutif dari Kompas 22 Februari 2002