Thursday, October 23, 2008

Fatwa for the Environment

You may interest with the new phenomena of Fatwa (Edict) by the Ulama' in Kalimantan to halt the haze of the burning forest, illegal logging and mining. I am confince together with the goverment, the ulama in Indonesia could reduce the environmental degradation by changing the perceptions and the behavioral change of the community.

Please have a look of this Pdf file Newsletter of Eco-Islam published by IFEES Just recently.

Happy reading!

Wednesday, September 17, 2008

MUSLIM REDUCE THEIR CARBON FOOTPRINTS - GREEN GUIDE FOR MUSLIMS

A green guide to help Muslim households reduce climate change has been published jointly by Lifemakers UK and the Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES), with Muslim Hands, the Nottingham based charity meeting production costs. The booklet explains the impact of climate change using Islamic references and also explains why Muslims must do their bit for the environment.

The Green Guide is unique in that it is a simple, practical handbook that looks at different aspects of the Muslim household and suggests changes that can have a big impact on climate change. These include decisions about domestic food, water, laundry, heating, electricity, transport and recycling.

At the end of the 20 page booklet is also a ‘How green is my family’ checklist that gives households something positive to aim towards. The booklet has been printed in time for Ramadan, the month in which Muslims are most reflective of their actions.

For more information about the Green Guide please contact Raja on 07956 983 609 or Shaid on 0787 969 4540 or e-mail IFEES at info@ifees.org.uk or visit the website at www.ifees.org.uk

Tuesday, August 19, 2008

The Greening of Islamic Politics

By Saleem H. Ali, Haris N. Hidayat

Quoted from: http://www.policyinnovations.org/ideas/innovations/data/000068

Change Conference in 2007, Indonesia welcomed the world to the idyllic island of Bali as a venue to reach agreement on one of the most challenging environmental issues. Several years prior, the island had been the scene of the worst series of terrorist bombings in the region, killing more than two hundred people. These attacks, which were carried out by Muslim militants, further stigmatized and marginalized Islamic political parties in the international community.

In particular, Indonesia's pesantren (religious boarding schools) came under great scrutiny due to their perceived connections to some of the Bali bombers. Even U.S. presidential hopeful Barack Obama felt obliged to distance himself from his childhood days in Indonesia because of a rumor that he had attended a pesantren, since both his father and stepfather were Muslim. Yet a closer analysis of the political scene in this sprawling country of more than 17,500 islands shows that Islamist political institutions are making a remarkably green comeback that might appear progressive even to many Western politicians.

>>>>more

Sunday, August 3, 2008

Sarasehan Peran Pesantren untuk Konservasi Alam

Dalam rangka “membangunkan” kekuatan besar untuk pelestarian lingkungan di Indonesia dengan memberikan kesadaran lingkungan bagi para Kyai maka dilaksanakan Sarasehan Kontribusi Pesantren Untuk Konservasi Alam di Bogor yang digagas dan diprakarsai oleh Religion and Conservation Initiative CI Indonesia, Yayasan Owa Jawa dan Rufford Small Grant. Sarasehan ini dihadiri oleh 30-an Kyai dan pengurus pesantren dari tiga wilayah (Bogor, Sukabumi dan Cianjur) yang berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

Selanjutnya lihat >>>

Berita terkait:

Thursday, May 29, 2008

MEMPERINGATI HARI BUMI 2008; Lestarikan Lingkungan, Amal Jariyah

12/04/2008 11:45:15 DEPOK (KR) - Masalah lingkungan sangat kompleks dan sekarang ini dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan tidak sekadar sampah, tetapi menyangkut segala aspek kehidupan ke depan.

Hutan yang rusak telah mengubah ekologi menjadi tidak menentu dan terjadinya pemanasan global sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. “Dalam melindungi dan melestarikan lingkungan hutan ini, madrasah, pesantren, para kiai, dai sangat berkepentingan karena merupakan salah satu dari amal jariyah seperti yang diajarkan Islam dalam Alquran,” ujar Fachruddin M Mangunjaya dalam diskusi buku ‘Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup’, Jumat (11/4).

Diskusi buku yang diterbitkan Yayasan Obor, Conservation International Indonesia dan Islamic College For Advanced Studies (ICAS) dengan pengantar Mantan Menteri KLH Emil Salim tersebut diselenggarakan MP Bookpoint Jl Kaliurang Km 6,3, Nomor 58, Depok, Sleman. Kegiatan ini dalam rangkaian memperingati Hari Bumi 2008. Menurut Fachruddin salah seorang editor buku ini, Islam mengajarkan kepada umatnya apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi ini supaya dipelihara, karena kawasan konservasi itu merupakan salah satu sarana ibadah.

Umat diperintahkan untuk menjaga dan mencegah dari penjarahan hutan, karena kerusakan hutan sangat fatal. “Untuk itu alangkah bijaksananya apabila dalam salat Jumat khotib memberikan ceramah tentang lingkungan, sehingga bisa diagendakan lingkungan masuk masjid. Tidak ada kata terlambat dalam melestarikan dan memelihara lingkungan, sehingga lebih digiatkan lagi salawat lingkungan,” kata Fachruddin M Mangujaya mewakili editor lainnya Husain Heriyanto dan reza Gholami.

Dari sisi yang lebih mulia lagi dalam memelihara dan menanam pohon, bila buah, bunga itu dimakan ulat, burung dan dihisap lebah merupakan dan menjadi amal jariyah bagi yang menanam dan memeliharanya. “Itu semua disebutkan dalam hadits Nabi maupun Alquran,” kata Fachruddin M Mangunjaya lulusan sarjana biologi Universitas Nasional Jakarta ini. (Asp)-n
sumber: Kedaulatan Rakyat

Tuesday, April 15, 2008

Madrasah Hijau Indonesia

Oleh Saleem H. Ali*)

Burlington, Vermont – Di pedalaman Jawa Tengah, pulau terpadat di Indonesia, terdapat bentuk gerakan lingkungan hidup yang tidak biasa. Dibayangi oleh Gunung Merapi dan dikelilingi oleh sawah dan ladang tebu yang subur, sebuah sekolah kecil mencetak para aktivis lingkungan hidup yang komitmennya terhadap bumi tidak dilandaskan pada buku-buku teks konservasi dari Barat, tapi lebih didasarkan kepada nilai-nilai Islam.

Sang kepala sekolah, Nasruddin Anshari, kerap mengulang kalimat "satu bumi bagi semua", sebanyak dia biasa mengucapkan "Allahu Akbar".Sekolah pesantren di Indonesia telah dicermati sedemikian rupa beberapa tahun belakangan, akibat anggapan adanya hubungan antara pesantren dengan insiden terorisme seperti bom Bali pada tahun 2005.

Bahkan kandidat presiden Barack Obama merasa harus menjauhkan diri dari masa-masa kecilnya di Indonesia, karena bertiupnya rumor bahwa dia pernah bersekolah di pesantren, oleh sebab ayah kandung maupun ayah tirinya adalah Muslim. Namun transformasi yang bertempat di Pesantren Lingkungan Giri Ilmu pasti akan menyenangkan para pemilih di Barat. Anak-anak dari desa Bantul belajar tentang pentingnya melindungi ekosistem mereka sebagai tanda keimanan pada Tuhan.

Tak jauh dari pesantren yang ramah lingkungan ini, Universitas Perdamaian yang amanatkan PBB mengadakan workshop selama sepekan mengenai pendidikan perdamaian dalam konteks Islam pada November 2007 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Para cendekiawan dari sejumlah negara Islam berkunjung untuk mempertimbangkan berbagai dimensi pendidikan perdamaian dan mengembangkan rancangan pelajaran untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah Islam. Islam sebagai agama yang terorganisir muncul di lingkungan gurun pasir Arabia, dan sejak itu perhatian yang sungguh-sungguh diberikan kepada masalah-masalah ekologi dalam etika Islam.

Meskipun teologi Islam bukanlah panteisme, dan memiliki banyak persamaan antroposentris dengan agama-agama Ibrahim lainnya, namun ada semacam penghormatan terhadap alam, yang berasal dari pragmatisme esensial dalam agama tersebut. Karena kelangkaan sumber daya, umat Muslim awal menyadari bahwa pengembangan jangka panjang hanya dimungkinkan dalam pemeliharaan ekologi yang dilakukan oleh seluruh umat manusia. Karenanya, kesemestaan sumber-sumber daya lingkungan hidup menyediakan model yang berharga untuk membangun perdamaian.

Walau demikian, ada beberapa tantangan sistemik terhadap realisasi paradigma pengembangan berkelanjutan dalam Islam kontemporer. Pertama, keyakinan Islam bahwa manusia adalah mahluk Tuhan yang paling utama, menghadapi tantangan serius untuk menanamkan etika lingkungan hidup, terutama berhubungan dengan hak-hak binatang.

Namun, terdapat sejumlah perintah tentang tanggung jawab yang muncul seiring dengan status sebagai “mahluk utama.” Konsep khalifah mensyaratkan para khalifah untuk merawat/mengurus bumi dan semua mahluk di atasnya.Kedua, fokus kepada kehidupan sesudah mati daripada masa kini telah membuat banyak Muslim menganggap tantangan lingkungan hidup dan pembangunan sebagai hal yang sepele. Hal ini mengarah pada puas diri dan fatalisme tentang masalah dalam pembangunan, karena hal itu dianggap sebagai takdir Tuhan. Tapi fatalisme ini tak lagi meresap di antara umat Muslim yang taat di Indonesia. Sekolah-sekolah Islam di negara Islam terbesar di dunia ini menyadari bahwa ibadah yang paling besar adalah memelihara sumber daya alam tempat kehidupan semua mahluk bertumpu. Seperti halnya bunuh diri dilarang dalam Islam karena penghargaan yang mendalam terhadap kesucian jiwa, begitu pula halnya dengan merusak sistem pendukung kehidupan yang membuat planet kita begitu unik.

Di luar Indonesia, ada beberapa tanda perubahan positif yang menjanjikan. Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science, yang berbasis di Birmingham, Inggris, sedang mengembangkan sejumlah program untuk institusi-institusi keagamaan di negara-negara Islam di seluruh dunia. Pada akhir 2006, US Agency for International Development meluncurkan program pendidikan lingkungan hidup di Tanzania yang menargetkan 12.650 murid sekolah dasar dan 12.650 murid madrasah, melatih 220 guru sekolah dasar dan 220 guru madrasah tentang masalah-masalah ekosistem pantai dan laut.Bahkan negara-negara seperti Iran mengambil langkah positif dalam hal ini dan cukup bangga akan fakta kesuksesan Konvensi Ramsar tentang Perlindungan Rawa, yang mengambil nama dari salah satu kota di Iran saat konvensi itu ditandatangani pada 1971.

Meskipun Iran mengalami konflik beberapa tahun sesudahnya, dan mengabaikan soal lingkungan hidup, namun pada tahun 2004, pemerintah Iran membuat konferensi internasional tentang keamanan lingkungan hidup, yang juga mengundang Amerika. Konferensi ini telah membangun landasan yang kuat untuk menggunakan konservasi lingkungan hidup dalam menciptakan perdamaian. Mantan presiden Iran, Mohammad Khatami, menyatakan bahwa, “Polusi merupakan ancaman yang lebih besar daripada perang dan perjuangan untuk memelihara lingkungan hidup mungkin merupakan isu paling positif untuk mempersatukan negara-negara teluk.”Negara-negara teluk juga berusaha untuk mengurangi jejak hitam ekologi mereka yang amat besar. Abu Dhabi telah berkomitmen untuk membangun kota bebas karbon pertama di dunia dengan 40.000 jiwa penduduk pada tahun 2012. Dan Kota Masdar akan mengutamakan institusi pendidikan dan sejumlah perusahaan teknologi ramah lingkungan untuk mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Jika energi para cendekiawan Muslim Pakistan dan madrasahnya, serta kaisar pembangunan kita bisa disalurkan ke arah kegiatan sosial dan lingkungan hidup yang positif semacam itu, mungkin kita bisa mulai menghargai persamaan kita sebagai manusia. Daripada berbicara terus tentang retorika yang memecah-belah suku dan sekte, atau bujukan politik, kita lebih memiliki kepentingan teologis dan teleologis untuk “menghijaukan masyarakat kita.”###*

Dr. Saleem H Ali (saleem@alum.mit.edu) adalah wakil dekan pendidikan tinggi di University of Vermont’s Rubenstein School of Environment dan editor Peace Parks: Conservation and Conflict Resolution (MIT Press). Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.Sumber: Daily Times, 19 Januari 2008, www.dailytimes.com.pk Telah memperoleh hak cipta.

Tuesday, January 22, 2008

Habib Umar: Kekhalifahan dan Tanggungjawab Ulama dalam Hal Lingkungan dan Konservasi Alam


Nasihat Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, Tuan Guru yang Mulia dari Tarim-Hadramaut tentang; Tanggungjawab Muslim Selaku Khalifah Terhadap Lingkungan Hidup dan Konservasi Alam

Pertayaan:
Umat Islam sekarang ini menghadapi persoalan diberbagai tempat dengan adanya perubahan lingkungan dan kerusakannya; seperti gejala pemanasan global, banjir akibat penebangan kayu dan banyak tanah longsor seperti yang terjadi di Indonesia. Perkara lingkugan tengah dihadapi juga oleh seluruh masyarakat Muslim yang ada di berbagai negara, kami ingin menanyakan hal sebagai berikut:

Bagaimana sikap seorang muslim dalam konteks sebagai khalifah di muka bumi menghadapi dan menanggapi persoalan lingkungan ini?

Apa yang bisa dilakukan oleh ulama Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan lingkungan yang terjadi di jaman sekarang ini?

Jawaban:
Jawaban diterjemahkan dari bahasa Arab, oleh penerjemah, dan jawabannya adalah sebagai berikut:

Beliau menyatakan bahwa syariat Islam ini telah sempurna, dan segala sesuatu yang mendatangkan manfaat di alam ini telah diterangkan oleh Rasulullah saw dan segala sesuatu yang mendatangkan bahaya dalam kehidupan ini juga telah diterangkan oleh Nabi saw. Maka syariat Islam sangat mendukung akan hal-hal yang bisa menjaga keselamatan lingkungan hidup. Dan menjaga keadaan sehingga akan bisa menghindarkan daripada bahaya, semuanya didukung dalam syariat Allah swt. Dan kita setiap pribadi ummat Islam mempunyai tanggungjawab untuk itu, jadi bukan dikarenakan kita mengikuti sebuah yayasan tertentu atau karena perintah pemerintah untuk menjaga lingkungan, bukan itu niatnya. Tetapi niatnya adalah: bahwa ini adalah syariat Allah untuk menjaga kebersihan dan keselamatan. Jadi karena ini merupakan syariat Allah, maka saya secara pribadi mengikuti dan menjalankan apa yang dikehendaki oleh Allah Rasullullah saw.

Peran ulama dalam hal ini, bahwa ulama mempunyai tanggunjawab untuk menerangkan hal ini kepada setiap ummat dan masyarakat. Bahwa setiap pribadi dalam syariat Islam adalah menjaga dan menghindarkan dari bahaya, sebagaimana sabda Nabi saw:”La dharara wala dhirara,” jangan sampai kita mendatangkan bahaya atau jangan sampai kita membiarkan orang untuk bisa mendatangkan bahaya. Kemudian perlu diketahui bahwa, jangan beranggapan apa yang diperoleh oleh manusia dengan ilmu pengetahuan dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan keadaan keseimbangan ini, lalu kita beranggapan bahwa syariat tidak pernah menyentuhnya. Ini hanyalah soal kelemahan kita dalam mamahami syariat Islam.

Jadi sesungguhnya semuanya telah ada dalam syariat Islam hal apa pun yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia, karena Nabi saw, bersabda: “Khairunnasi anfaahum linnaasi”, sebaik-baik manusia adalah orang yang menguntungkan kepada orang-orang yang lain. Sehingga setiap usaha-usaha yang mendatangkan kemanfaatan masuk kedalam sabda Nabi saw ini dan apa yang mendatangkan bahaya berarti bertentangan seperti ini. Jadi ulama mempunyai tanggunjawab untuk menerangkan hal-hal seperti ini kepada masyarakat. (Pertanyaan di ajukan oleh Fachruddin Mangunjaya, pada Pertemuan dan dialog interaktif Ulama dan Habaib yang diikuti oleh ulama dari berbagai pelosok Indonesia, di Wisma DPR RI, Cisarua 22-23 Januari 2008.

)***
Cerita menarik bisa dilihat disini