Saturday, September 11, 2010

Environment: A Different Kind of Green

* by Kafil Yamin (bogor, indonesia)
* Thursday, April 15, 2010
* Inter Press Service

The colour green has long been associated with Islam, but if some recent Muslim visitors here could have their way, it’s a link that could intensify some more in the future.

For three years now, representatives of Muslim communities across the globe have been holding an annual conference on climate change in an effort to stage a new kind of ‘Green Revolution’.

And while the meeting that was held here Apr. 9 to 10 failed to form an umbrella group that would take care primarily of coordinating Islamic green initiatives worldwide, it nevertheless produced the ‘Bogor Declaration’ that among others urges the influential Organisation of the Islamic Conference (OIC) to set up a special council on climate change.

Proponents of the annual gathering have pointed out that with Muslims making up one-fifth of the world’s population, coordinated action among them toward a greener planet could only have a profound impact on easing global warming woes.

They also say that Muslims should have a stronger voice in global discussions on climate change, and should take the initiative to implement environmentally sound policies in their own communities.

Mahmoud Akeef, one of the initiators of the Muslim Action on Climate Change, told IPS that a faith-based plan for the environment makes perfect sense. He pointed out, 'We have examples of best practice of taking care of the environment in the past. The Koran and examples shown by Prophet Mohammad carry the strong message about the unavoidable need to keep nature balanced.'

Last year’s conference, held in Istanbul, even resulted in a seven-year action plan that Indonesian environmental activist Fachrudin Mangunjaya says was inspired by 'Joseph’s proposition to make preparation for the seven-year drought that he interpreted from the Pharaoh’s dream'.

An international ‘waqf’ (alms) institution is supposed to be established to finance the implementation of that plan, which includes the ‘Green Hajj’ project that aims to make the pilgrimage to Mecca, Saudi Arabia, more environmentally friendly.

Research by Dr Mawli Izzidie, a senior lecturer in Islamic Studies at the University of Wales, Lampeter, has found that around 100 million plastic bottles are left on the annual Hajj sites in Mecca every year, as well as in hotels and Hajj camps around the Ka’bah compound.

'The packaging of food consumed by three million pilgrims is carelessly discarded,' noted Mawli, a key figure behind the seven-year action plan. 'This has to change. Two years from now, we are determined to make Hajj pilgrimage free of plastic bottles.'

The plan also calls for ‘environmental’ labelling of ‘halal’ goods. Explained Mawli: 'This will categorise the environmental effects that goods have and each will be graded as to how green they are.'

But while the participants at the meeting here were unable to flesh out the ‘Green Hajj’ some more, they did manage to declare Bogor as the latest among the so-called ‘Muslim Green Cities’.

Previously, Sala in Morocco, Darul Ifta in Egyt, and Medina in Saudi Arabia had also been named as such.

Being named a ‘Muslim Green City’ does not necessarily mean the place is already one, but refers more to what it can and should become.

While huge trees still grace Bogor, for example, this West Javanese city shows signs of pressure from an increasing population, unchecked industrial development, and poor urban planning.

Locals also dub Bogor as ‘kota seribu angkot’, which means 'city with thousands of ‘angkot’,' or minivans. These popular angkot clog Bogor’s streets and pollute the air with their fumes.

Those at the conference, though, seemed optimistic about Bogor’s chances of cleaning itself up. Akeef also said, 'We will develop our own model of green city in Muslim countries -- a city that has low carbon dioxide emission, low carbon food, clean transportation that use clean energy.'

Still, seven years may be too short for a Green Revolution to take place, since it is not easy change individuals’ daily behaviour.

Major Muslim-initiated environmental projects often have to look outside the Muslim world for support as well. The Muslim Action Plan for Climate Change itself has as its main supporters the United Nations Development Programme, the World Bank, Earth-Mate Dialogue Centre and Association of Religion and Conservation.

Here in Indonesia, an exemplary Muslim grassroots project that puts Islamic teaching on the environment into practice also won support not only from a Muslim organisation, but from the World Bank and some secular non- government groups.

In the last five years, the project has seen ‘pesantren’ or Muslim boarding schools getting involved in land rehabilitation, in cooperation with tens of thousands of villagers. The ‘pesantren’ have also incorporated into their curricula teachings that reflect human beings’ close relationship with the land, including agriculture and animal husbandry.

Local Muslim activist Amany Lubis, however, said that perhaps Muslims should just focus on the work itself.

'Why don’t we just do what we are supposed to do?' she asked. 'When we start doing the good things, we don’t have to think who support us, where they come from, or why most Muslims have poor environmental awareness.'

'Just do it,' she said.

Berjihad Lewat Fikih Lingkungan

Oleh Marwan Ja’far

Tiga isu besar yang acap melanda dunia ketiga dan mayoritas muslim adalah terorisme, demokrasi, dan ekologi. Faktanya, memang di negeri muslim pula ketiga hal tersebut berada dan lebih banyak disorot. Khusus isu ekologi, hal ini amat jelas betapa negeri muslim tidak mengindahkan aturan yang ada dalam agama sendiri.

Seiring karut-marut ekologis, rasanya perlu dikedepankan suatu pendekatan religius yang dikenal dengan istilah fikih lingkungan. Pengistilahan fikih lingkungan memang sudah pernah digulirkan oleh KH Ali Yafie dalam bukunya Merintis Fikih Lingkungan Hidup (1994) dan KH Sahal Mahfudz lewat bukunya Nuansa Fikih Sosial (1994).

Fikih menempati reputasi penting dalam peradaban Islam. Sampai-sampai seorang pemikir muslim dari Maroko, Muhammad Abid al-Jabiri, dalam bukunya Takwin al-’Aql al-’Arabi (1991) menyatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban fikih. Ini karena hukum Islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang amat penting.

Fikih lingkungan memiliki asumsi bahwa fikih adalah al-ahkam al-’amaliyah (hukum perilaku) yang bertanggung jawab atas pernik-pernik perilaku manusia agar selalu berjalan dalam bingkai kebajikan dan kebijakan serta tidak mengganggu pihak lain (baca: lingkungan), sehingga kemaslahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas ini, kebenaran fikih diukur oleh relevansinya dalam menggiring masyarakat biotis ke arah yang lebih makmur, lestari, dan dinamis. Orientasi dan misi dari fikih lingkungan tidak lain adalah konservasi dan restorasi lingkungan, selaras dengan cita-cita Islam rahmatan li al-’alamin.

Teladan Islam

Upaya konservasi alam dalam Islam dapat kita lacak pada diri Nabi SAW, para sahabat, dan ulama salaf. Hal ini dapat dilihat, misalnya, beliau pernah mengajarkan cara konservasi alam melalui pencanangan konsep hima, yakni lahan konservasi. Dalam konteks sekarang, lahan tersebut sepadan dengan istilah taman kota, kawasan hijau, suaka marga satwa, dan sejenisnya. Kawasan-kawasan itu tidak diperkenankan untuk penduduk, terutama untuk kepentingan yang sifatnya eksploitatif.

Kita juga bisa melihat dari ajaran konservasi lingkungan ala Nabi yang terkandung dalam ritual ibadah haji. Orang-orang yang datang ke tanah haram (Mekah-Madinah) untuk berhaji sangat berhati-hati, termasuk dengan berbagai tanaman. Kalau mencabut satu tanaman saja, orang yang berhaji bisa didenda dengan seekor kambing. Sebab, tanaman merupakan bagian dari lingkungan sehingga barangsiapa merusaknya sedikit apa pun akan mendapat teguran langsung dari Allah. Apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad kala itu adalah sebuah lompatan pemikiran yang sangat luar biasa dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup manusia. Di sini, Mekah dan Madinah telah menjadi teladan bagi penjagaan lingkungan yang sangat strategis dicontoh oleh umat Islam.

Nabi Muhammad juga sangat menjaga air zam-zam. Air zam-zam, bagi masyarakat Mekah dan Madinah, sangatlah berharga. Makanya, Nabi memerintahkan umat Islam menjaganya. Dari air zam-zam inilah masyarakat Arab mendapat kemudahan dalam mendapatkan air bersih. Bahkan bagi setiap orang Indonesia yang pergi haji, oleh-oleh wajib yang selalu dinantikan adalah air zam-zam. Ini artinya, komitmen Nabi dalam menjaga saluran hidup bersih dengan air zam-zam sangat terasa manfaatnya bagi umat Islam.

Khalifah Umar bin Khaththab pernah bertawasul dengan Sungai Nil. Dalam tawasulnya, beliau berkata, “Ya Allah, inni atawashshalu bi ma’i nil, as’aluka lisa’adati Mishra.” Dengan air Sungai Nil, Khalifah Umar berharap rakyat Mesir mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan dari Allah. Apa yang dilakukan Khalifah Umar dengan tawasulnya tersebut meniscayakan penjagaan terhadap Sungai Nil. Kalau Sungai Nil dijaga, dilindungi, dan dikelola dengan baik, rakyat Mesir akan mendapat kemakmuran dan kesejahteraan. Dan terbukti, Sungai Nil telah menjadi jalur perdagangan yang luar biasa, sehingga bisa membuka peluang-peluang strategis dalam meningkatkan ekonomi masyarakat Mesir.

Dalam ranah fikih, di antaranya kita mengenal istilah tanah kosong (mawat). Guna menghidupkan tanah ini, para ulama membagi menjadi tiga macam cara, yaitu ihya’, iqtha’ dan hima. Ihya’ adalah pemanfaatan tanah kosong oleh individu tertentu untuk kepentingan dalam kehidupan orang muslim pribadi. Dalam hal ini, ada perbedaan mengenai keabsahannya. Mazhab Hanafi- berpendapat, kalau tanpa izin dari pemerintah, maka tidak sah. Sedangkan mazhab Syafi’i- berpendapat sebaliknya. Adapun iqtha’ merupakan pemanfaatan tanah yang dipelopori oleh pemerintah, di mana pemerintah memberikan tanah kepada orang-orang tertentu. Pemberian ini ada kalanya untuk dimiliki atau diambil manfaatnya sementara waktu. Kalau dalam konteks sekarang, barangkali hampir sama dengan transmigrasi. Kemudian hima, yakni pemerintah menetapkan lahan tertentu sebagai area lindung yang difungsikan untuk masyarakat umum. (Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz V, Dar al-Fikr, Damaskus,1989).

Di sinilah terlihat sebuah upaya konservasi lingkungan hidup. Dalam arti bahwa upaya menghidupkan tanah mati itu juga jangan membuat tanah menjadi mati. Ini berarti menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) merupakan sebuah terobosan pemikiran progresif ulama dalam menggerakkan pemberdayaan masyarakat. Tanah yang gersang harus direstorasi demi kemaslahatan umat.

Mashlahah

Pengetahuan dan pemahaman tentang mashlahah (maqashid al-syari’ah) merupakan hal yang sangat penting dalam fikih. Sebab, kepada landasan hukum itulah setiap persoalan dalam kehidupan manusia dikembalikan.

Hukum tidaklah selalu merupakan barang jadi yang siap pakai, melainkan harus ditemukan. Dalam banyak hal, penegakan dan pelaksanaan hukum tidak hanya sekadar penerapan hukum, tapi juga sering merupakan penemuan hukum (rechtsfinding). Karena itu, penemuan hukum merupakan conditio sine quanon dalam setiap sistem hukum yang ada.

Para ahli hukum Islam menyadari hal ini, sehingga muncul adagium yang berbunyi “teks-teks hukum itu terbatas adanya, sementara kasus-kasus hukum tiada terbatas” (al-nushush mutanahiyah, wa amma al-waqa’i’ ghair mutanahiyah). Di sinilah perlunya ijtihad.

Menjaga lingkungan hidup (hifzh al-bi’ah) jelas berada dalam bingkai mashlahah. Al-Quran hanya menyinggung tentang prinsip-prinsip konservasi dan restorasi lingkungan, seperti larangan perusakan atau larangan berlebih-lebihan (israf) dalam pemanfaatannya. Prinsip-prinsip ini dinamakan mashlahah mu’tabarah. Namun, sejauh mana kadar berlebih-lebihan serta teknis operasional penjagaan tidaklah ditemukan dalam Al-Quran. Kita harus berijtihad sendiri bagaimana, misalnya, tanah pinggir sungai supaya tidak terkena erosi. Kebutuhan untuk menjaga lingkungan tetap niscaya untuk dijalankan, karena lingkungan hidup merupakan penopang segala kehidupan ciptaan Tuhan.

Nah, melalui fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah), pesan lingkungan dari agama bisa ditransfer dan menjadi inspirasi baru bagi pengelolaan lingkungan hidup. Rumusan fikih lingkungan sejatinya dapat digunakan sebagai panduan tindakan preventif agama supaya perilaku manusia tidak melawan alam.

Walhasil, menjaga lingkungan bukan lagi sekadar wajib kifayah, melainkan berhukum wajib ‘ain, yakni kewajiban yang hanya bisa gugur apabila setiap insan di muka bumi ini menunaikannya. Inilah produk fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah) yang mewajibkan menjaga lingkungan dan mengharamkan merusak lingkungan.

(Sumber: Koran Tempo, 27 Agustus 2010)

*) Marwan Ja’far, Ketua Fraksi PKB DPR R