Tuesday, March 27, 2007

Waqaf

Waqaf adalah lahan atau tanah yang dihibahkan oleh seorang muslim (wakif) dengan tujuan amal untuk kepentingan sosial umat dalam memberantas kemiskinan dan kebodohan. Bisanya lahan wakaf digunakan untuk pembangunan madrasah dan universitas, masjid, rumah sakit dan kepentingan sosial lainnya. Status tanah wakaf adalah abadi kepemilikannya. Tidak bisa dipindah tangankan, apalagi dijual atau diwariskan. Bila ada hasil atau keuntungang yang diperoleh dari wakaf, adalah untuk amal. Maka lahan waqaf biasanya terdaftar secara administrasi dan disahkan oleh qadi, atau pengurus tanah setempat.

Untuk kepentingan yang lebih luas dalam dunia konservasi, maka wakaf juga dapat didorong untuk melibatkan muslim dalam memajukan pelestarian alam untuk kepentingan publik misalnya untuk pendirian stasiun riset, laboratorium kultur jaringan untuk perbanyakan bibit tanaman, pendirian rumah kaca untuk kepentingan penelitian, institusi pelatihan, pengembangan dan penangkaran hidupan liar (untuk mencegah kepunahan) dll. Lahan wakaf dapat menjadi sarana yang memungkinkan muslim secara individu maupun kolektif memberikan kontribusi yang berarti untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan dan konservasi alam.

Hima

Hima’ merupakan salah satu istilah yang tepat untuk diterjemahkan menjadi kawasan lindung (dalam istilah sekarang). Othman Llewellyn, menyebutkan bahwa tradisi hima’ ditandai oleh fleksibilitas. Dalam hukum Islam, menurut Al-Suyuti dan fuqaha-fuqaha lain, sebuah hima’ harus memenuhi empat persyaratan yang berasal dari praktik Nabi Muhammad SAW dan khalifah-khalifah pertama:

  1. harus diputuskan oleh pemerintahan Islam;
  2. harus dibangun sesuai ajaran Allah – yakni untuk tujuan-tujuan yang berkaintan dengan kesejahteraan umum;
  3. harus terbebas dari kesulitan pada masyarakat setempat, yakni tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan mereka yang tak tergantikan;
  4. harus mewujudkan manfaat nyata yang lebih besar untuk masyarakat ketimbang kerusakan yang ditimbulkannya. [1]

Jika melihat kaidah fuqaha ini, maka, hima’, merupakan istilah yang paling mewakili untuk diketengahkan sebagai perbandingan kata dan istilah untuk kawasan konservasi: taman nasional, suaka alam, hutan lindung dan suaka margasatwa. Alasannya, semuanya kawasan konservasi ditetapkan oleh pemerintah (walaupun bukan pemerintahan Islam-sic). Kedua, pada dasarnya kawasan konservasi dibuat adalah untuk kepentingan kemaslahatan umum, misalnya: jasa ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, stok bahan-bahan genetic dan sumberdaya hayati, penyerapan karbon dan lain-lain.

Ketiga, penetapan kawasan konservasi tentu saja dengan tujuan untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan kehidupan mereka. Keempat, kawasan konservasi merupakan sarana untuk menimbulkan maslahat jangka panjang, termasuk mencegah dari terjadinya bencana seperti kekeringan pada musim kemarau atau banjir pada saat musim hujan.

Oleh karena itu istilah hima’, bisa saja bermakna: taman nasional, hutan lindung, suaka margasatwa dll. Hima’ merupakan kawasan lindung yang dibuat oleh Rasullullah SAW dan diakui oleh FAO sebagai contoh pengelolaan kawasan lindung paling tua bertahan di dunia. Berbeda dengan kawasan lindung sekarang yang umumnya mempunyai luasan yang sangat besar dalam sejarah, hima’ memiliki ukuran luas yang berbeda-beda, dari beberapa hektar sampai ratusan kilometer persegi. Hima’ al-Rabadha, yang dibangun oleh Khalifah Umar ibn Khatab dan diperluas oleh Khalifah Usman ibn Affan, adalah salah satu yang terbesar, membentang dari tempat ar-Rabadhah di barat Najid sampai ke dekat kampung Dariyah. Di antara hima’ tradisional adalah lahan-lahan penggembalaan yang paling baik dikelola di semenanjung Arabia; beberapa di antaranya telah dimanfaatkan secara benar untuk menggembala ternak sejak masa-masa awal Islam dan merupakan contoh pelestarian kawasan penggembalaan yang paling lama bertahan yang pernah dikenal. Sesungguhnya, beberapa sistem kawasan lindung diketahui memilik riwayat yang sama lamanya dengan hima’-hima’ tradisional.

Diperkirakan tahun 1965 ada kira-kira tiga ribu hima’ di Saudi Arabia, mencakup sebuah kawasan luas di bawah pengelolaan konservasionis dan berkelanjutan. Hampir setiap desa di barat laut pegunungan itu termasuk ke dalam salah satu atau lebih hima’, yang terkait juga dengan sebuah perkampungan sebelahnya. Hima’-hima’ itu bervariasi dari 10 sampai 1000 hektar dan rata-rata berukuran sekitar 250 hektar.[2]

Imam Al-Mawardi, menyebutkan, hima’ merupakan kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya untuk dimiliki oleh siapapun agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan pengembalaan hewan ternak. Rasullullah SAW melindungi Madinah dan naik ke gunung Annaqi’, dan bersabda: “Haza hima’ wa ‘asyaara biyadihi ilal qa i,” (ini adalah lahan yang kulindungi –sambil memberi isyarat ke lembah).[3] Nabi SAW juga pernah bersabda: “La hima’ ilallaha warasuluhu,” (Tiada hima’’ kecuali adalah milik Allah dan Rasulnya (untuk kemanusiaan). Jusamah meriwayatkan lagi, bahwa Nabi Muhammad SAW membuat lahan hima’’ di al-Naqi lalu Umar di al-Sharaf dan al-Rabazah. [4]

Banyak hima’ , yang telah dicanangkan di Saudi Arabia –sebagai peninggalan Islam, dan sekarang masih ada--juga terletak di daerah daerah yang kaya akan keanekaragaman hayatinya atau lahan-lahan hijau serta memiliki habitat-habitat biologi penting. Dengan demikian, tentu saja pemerintah tinggal meneruskan tradisin ini untuk untuk pemeliharaan keanekaragaman hayati. Namun karena masalah-masalah yang dihadapi oleh kawasan-kawasan konservasi semakin kompleks, makan perlu di eksplorasi potensi ekologinya melalui penelitian serta mengembangkan aspek sosio-ekonomi kawasan-kawasan tersebut sehingga menjadi maslahat bagi kepentingan ummat.

Oleh sebab itu, hima’ dapat dijadikan model legitimasi yang bisa ditampilkan ketika kehilangan spesies meningkat dan ekosistem menggerogoti kesuburan lahan, sebagai instrumen syariah yang penting untuk koservasi keragaman hayati. Untuk mewujukan potensi ini, setiap negara Muslim perlu membangun sebuah sistem hima’ – kawasan lindung -- yang komprehensif berdasarkan inventarisasi dan analisa akurat mengenai sumber-sumber biologinya. Sistem seperti itu harus melestarikan [dan memulihkan] representasi setiap kawasan physiografis dan biota. Ia harus melestarikan [dan memulihkan] tempat-tempat produksi bilogis penting dan kepentingan ekologisnya, seperti lahan basah, pegunungan, hutan-hutan dan kawasan hijau, pulau-pulau, terumbu karang, mangrove, rumput laut dan semak-semak. Ia pun harus melestarikan populasi satwa langka dan terancam, satwa endemik dan spesis-spesis penting ekologi dan bernilai ekonomis.[5]

Bagaimana dengan Indonesia? Semangat pelestarian alam sudah dicanangkan termasuk di kawasan baru Taman Nasional Batang Gadis di Mandailing Natal, yang tadinya merupakan suaka alam, kemudian menjadi Taman Nasional. Peningkatan status menjadi taman nasional, memperjelas kedekatan pengelolaan kawasan tersebut menjadi lebih maslahat kepada ummat. Sebab dengan adanya taman nasional pengelolaan kawasan lebih dimungkinkan dengan pendekatan yang berkelanjutan: misalnya (1) pemanfaatan zona-zona lahan untuk kepentingan ekonomi (ekowisata, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu: karet alam, damar dll). (2) pemanfaatan kawasan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Kawasan asli diperlukan untuk memberikan input tentang kekayaan biologi dan kesempatan manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang isi yang terkandung didalamnya.(3) pemanfaatan kawasan sebagai aset dalam perawatan ekosistem baik lokal, regional maupun global yang dapat berbentuk jasa ekologi misalnya: daerah tangkapan air, hutan sebagai kawasan penyerap karbon (carbon sinc) atau sebagai paru-paru bumi, stok genetika dan kekayaan keanekaragaman hayati yang lain.

Oleh karena itu, sebagai legitimasi syariah, misalnya, untuk menjadikan penekanan ‘Islami’ terhadap kawasan konservasi, maka adalah absah untuk memberikan nama baru –yang Islami kawasan taman nasional menjadi sebutan, misalnya Hima’ Batang Gadis, Hima’ Gunung Leuser (di Aceh) dan seterusnya. Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah ber’azam menerapkan syariat Islam, memiliki potensi yang kuat untuk menerapkan baik secara istilah, maupun praktis dari syariat hima’ ini.

Hima sesungguhnya merupakan instrumen yang baik untuk pembangunan berkelanjutan, oleh sebab itu, hima’ yang paling bertahan adalah yang direncanakan dan dikelola, tidak oleh pemerintah pusat, tapi oleh masyarakat setempat sebagai stake holder yang hidupnya tergantung pada lahan itu. Taman Nasional Batang Gadis merupakan contoh dari perencanaan ini. Dalam sejarah awalnya, TNBG adalah diusulkan oleh pemerintah daerah bersama dengan masyarakat setempat, karena kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan alam untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati dan perawatan ekosistem.[6] Oleh sebab itulah, guna memungkinkan hima’ mencapai nilai potensinya untuk pembangunan berkelanjutan, harus ada keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaannya serta mengelolanya untuk mendapatkan keuntungan terus menerus yang dibagi secara sama di antara stake holders, yang pada gilirannya bertanggung jawab memelihara sumber-sumber itu.


[1] Dikutip dari Othman Llewelyn.2003. The Basic for a Discipline of Environmental law. Dalam Islam and Ecology R.C. Foltz, F.M. Denny and A.Baharuddin. Harvard Univ Press. Cambridge. hal 213 [2] ibid. Llewellyn, Othman. 2003. hal 214
[3] Al Mawardi, Imam. Al Ahkam As Sulthaniyyah.(Penerjemah:Fadhil Bahri). Darul Falah. Jakarta. 2000. hal 311.
[4] Lihat: Fiqh al Biah. A.S. Muhammad dkk. Laporan INFORM, 2004. h 25.
[5] ibid. Llewellyn, Othman. hal 216
[6] Conservation International Indonesia. Taman Nasional Batang Gadis: Warisan untuk Anak Cucu. CI Indonesia, Medan. 2004.

Harim

Harim merupakan lahan atau kawasan yang sengaja dilindungi untuk melestarikan sumber-sumber air. Harim dapat dimiliki atau dicadangkan oleh individu atau kelompok –di sebuah daerah yang mereka miliki. Jadi harim merupakan gabungan dua kawasan yitu yang telah digarap (lahan ihya) dan yang tidak digarap (lahan mawat). Sebagai muslim, ketergantungan terhadap eksistensi air adalah sangat penting. Kata harim (yang berarti terlarang). Biasaya harim terbentuk bersamaan dengan keberadaan ladang dan persawahan, tentu saja luasan kawasan ini berbeda-beda.

Biasaya harim dalam ukuran lahan tidak terlalu luas. Di dalam sebuah desa misalnya, harim dapat difungsikan untuk menggembalakan ternak atau mencari kayu bakar dan dapat ditempuh tidak lebih dari satu hari (dapat pulang ke kampung itu pada hari yang sama). Lahan ini bisa pula dimanfaatkan untuk memberi makan dan minum ternak tanpa membuat kerusakan; polusi, merumput yang berlebihan dan sebagainya. Karena harim biasanya merupakan milik kolektif (sebuah kampung), maka dengan ijin besama yang mempunyai lahan tersebut juga berhak membuat akses aliran air ke sawah-sawah atau ladang secara bersama di kawasan sekitarnya.

Di Mandailing Natal ada istilah: Lubuk Larangan yang merupakan terapan yang mirik dengan praktik harim. Di Jambi ada Hutan Adat Keluru yang merupakan hutan larangan yang merupakan praktik serupa dengan harim dalam syariat. Yang penting dalam harim ini adalah terdapat kawasan yang masih asli (belum dirambah) yang tidak dimiliki oleh individu tetapi dapat dimiliki oleh masyarakat secara bersama. Pemerintah dapat mengadministrasikan –mencatat—kawasan ini untuk keperluan bersama atau milik ummat (public). Walaupun milik public, penduduk desa sekitar masih dapat mencari kayu bakar dan menggembalakan ternak mereka di kawasan ini.

Ijarah

Ijarah (sewa menyewa) merupakan mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh negara tau milik pribadi untuk disewakan (dikontrakkan). Perjanjian dalam kontrak menyewa lahan ini harus ditentukan jangka waktunya dan ditentukan secara spesifik keperluannya. Dalam masa kontrak lahan tersebut si pemilik kontrak tetap memiliki asset yang mereka (dia) bangun selama kontrak. Maka apabila kontrak berakhir, pengontrak tetap diperkenankan memiliki pohon yang telah ditanamnya atau bangunan yang dikembangkannya. Kecuali ada perjanjian sebelumnya dimana pengontrak dapat memindahtangankan bangunan dan pohon yang mereka tanam, si pemilik tanah dapat membongkar bangunan atau mencabut pohon yang ditanam di lahan tersebut di akhir periode kontrak jika pemilik tanah menghendaki, atau si pemilik tanah dapat membayar bangunan dan pohon yang ditanam tersebut.[1]

[1] Pasal 531. Kitab undang-undang hukum perdata Islam. Kitab ini merupaka terjemahan dari Majalla al-Ahkam al-Adaliyyah (The Ottoman Court Manual), diterjemahkan oleh H.A. Djazuli dkk. Kiblat Press Bandung 2002.

Iqta

Iqta merupakan lahan yang dipinjamkan (lahan garap) oleh negara kepada para investor atau pengembang dengan perjanjian kesanggupan untuk mengadakan reklamasi (perbaikan pada lahan yang digarap). Oleh karena itu dalam penggarapan iqta, harus ada jaminan tanggunjawab, keuntungan baik untuk investor penggarap maupun untuk masyarakat sekitarnya.

Apabila penggarap telah membangun lahan tersebut menjadi produktif, maka dia tidak bisa memindah tangankan lahan tersebut kepada orang lain. Apabila lahan tersebut selama tiga tahun terlantar, maka penguasa negara bisa mencabut hak pakai penggarap lahan dan mengalihkannya kepada yang lain yang ingin memanfaatkan (menghidupkan lahan tersebut).

Lahan yang digunakan untuk iqta adalah lahan yang didalamnya tidak ada kepentingan public, misalnya sumber daya air, kepentingan ekosistem dan tidak menimbulkan masalah dalam penggarapannya. Di kawasan tersebut juga harus dipastikan tidak terdapat sumber daya mineral atau keuntungan publik lain yang seharusnya dikuasai oleh pemerintah untuk kemaslahatan orang banyak.

Ihya al Mawat

Ihya al- Mawat, merupakan syariat dalam memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan kemaslahatan manusia baik secara individu maupun kolektif. Semangat ini tercermin dengan penguasaan dan upaya memberikan nilai pada sebuah kawasan yang tadinya tidak mempunyai manfaat sama sekali (lahan kosong) menjadi lahan produktif karena dijadikan ladang, ditanami buah-buahan, sayuran dan tanaman yang lain. Semangat ihya (menghidupkan) al-mawat (kawasan yang tadinya tidak hidup: atau mati). Merupakan anjuran kepada setiap muslim untuk mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar (tidak bertuan) dan tidak produktif.

Semangat masa awal Islam yang memberikan peluang untuk membuat perbaikan (ishlah) tercermin pada ihya al-mawat ini. Misalnya Nabi pernah bersabda:
‘Man ahya arldha maitatu fa hiya lahu,’ (siapa saja yang menghidupkan tanah yang tadinya tidak dipakai –terlantar atau bukan milik seseorang—maka tanah tersebut menjadi miliknya).
Semangat menghidupkan lahan yang terlantar (tidak mempunyai pemilik) ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja pemerintah dan perundang-undangan harus akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. Ketentuan penggarapan tanah terseub menurut jumhur ulama tidak berlali bagi yang dimiliki oleh orang lain; atau kawasan yan apabila digarap akan mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum; misalnya tanah yang rawan longsor atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan berubahnya aliran air. [1]

Oleh karena itu peraturan terhadap penguasaan lahan untuk penerapan syariat ihya al-mawat ini harus kondusif. Misalnya Khalifah Umar Ibn Khattab, membuat undang-undang, untuk mengambil alih tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila terlihat lahan-lahan yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, masyarakat –pemerintah--dapat memproses lahan tersebut untuk agar dialihkan kepemilikannya supaya dapat dihidupkan dan menjadi produktif. Demikian pula, Islam melarang individu memiliki tanah secara berlebihan, dan juga dilarang untuk memungut sewa atas tanah karena pada hakekatnya tanah itu adalah milik Allah.

[1] Lihat Mangunjaya,F. 2005. Konservasi Alam Dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal 59