Monday, March 26, 2007

Konservasi Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Islam

Oleh: Fachruddin Majeri Mangunjaya[1]

“Telah diketahui bahwa dalam makhluk-makhluk ini Allah menunjukkan maksud-maksud yang lain dari melayani manusia, dan lebih besar dari melayani manusia: Dia hanya menjelaskan kepada anak-cucu Adam apa manfaat yang ada padanya dan apa anugrah yang Allah berikan kepada ummat manusia.” (Taqi ad-Din Ahmad ibn Taimiyah)

Secara sistematik, para pakar Islam terdahulu sesungguhnya telah mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup dan konservasi alam, sebagaimana tercermin dari kata-kata Ibnu Taimiyah diatas। Oleh sebab Islam membawa kemaslahatan dan perbaikan (ishlah) terhadap bumi. Bagaimana dengan konservasi? Sebagaimana disepakati oleh para fuqaha, jika ingin melihat praktik mendasar tentang penerapan syariat yang absah, adalah dengan melihat bagaimana praktik Rasulullah SAW beserta para sahabat beliau dalam menerapkan ajaran Islam. Sedapatnya dalam mengkaji perihal konservasi ini, tensi kita tidaklah bersifat apologia terhadap ajaran Islam. Tapi setidaknya, dalam kondisi kekinian, kita menemukan Islam memberikan ajaran yang spesifik dalam persoalan perlindungan terhadap alam.

Dalam sejarah kemanusiaan konservasi alam bukanlah hal yang baru, misalnya pada 252 SM. Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang tercatat dari apa yang sekarang kita sebut kawasan yang dilindungi. Pada sekitar 624-634 Masehi, Nabi Muhammad SAW juga membuat kawasan konservasi yang dikenal dengan hima’ di Madinah. Lalu pada tahun 1084 Masehi, Raja William I dari Inggrismememeritnahkan penyiapan The Doomesday Book, yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik kerajaan yang digunakan sebagai daerah untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan pembangunan negaranya. [2] Jadi jelaslah, konservasi sebenarnya merupakan kepentingan fitrah manusia di bumi yang dari masa kemasa terus mengalami perkembangan disebabkan kesadaran kita guna mendapatkan kehidupan yang layak dan mampu memikirkan kelangsungan hidup generasi kini maupun yang akan datang. Maka tidak heran jika praktik konservasi telah ada dalam ajaran Islam.

Istitusi konservasi dalam syariat Islam
Semangat konservasi dan pelayaan terhadap pelestarian alam dan lingkungan terdapat cukup banyak dalam istilah yang telah digunakan, baik yang kita temukan di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab klasik. Beberapa diantaranya dalam istilah tersebut disebutkan secara spesifik dalam bentuk praktis yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Beberapa institusi penting yang dapat dipandang sangat vital sifatnya dilihat dalam kondiri terkini yang menyangkut : pembagian lahan, hutan, pengelolaan hidupan liar, pertanian dan tata kota, ada beberapa hal istilah[3]:

  1. Ihya al-mawat, menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut agar menjadi produktif
  2. Iqta, lahan yang diijinkan oleh negara untuk kepentingan pertanian sebagai lahan garap untuk pengembang atau investor.
  3. Ijarah, sewa tanah untuk pertanian.
  4. Harim, kawasan lindung.
  5. Hima, kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami.
  6. Waqaf, lahan yang dihibahkan untuk kepentingan public (ummat).

Pada prinsipnya, pandangan diatas memang melekatkan secara umum tentang keharusan mengelola lahan secara baik dan benar baik untuk kepentingan manusia maupun kemanusiaan, juga untuk kepentingan alam sekitar termasuk flora dan fauna yang termasuk ciptaan Allah SWT। Enam bentuk dan istilah istitusi ini dapat dijumpai di berbagai literatur tentang pengelolaan negara (seperti kibat al-Ahkam al Sulthaniyah) hingga kitab hukum perdata (Majalla al-Ahkam al-Adaliyyah yang sudah menjadi petunjuk pelaksanaan) dari berlakunya syariat Islam di jaman Turki Ustmani.

Kesimpulan
Hukum syariat Islam mempunyai bentuk-bentuk dasar dan semangat konservasi alam yang baik sebagai referensi. Beberapa prinsip diatas sebenarnya dapat diadaptasi sebagai bentuk dasar dalam konservasi alam melalui syariat Islam. Keperluan konservasi yang semakin kompleks dan meluas, dapat saling mengisi antara enam aspek diatas. Misalnya, apabila lahan di sekitar taman nasional masih diperlukan untuk pembangunan fasilitas taman nasional –yang diadopsi sebagai hima’—dalam syariat Islam, maka masyarakat dapat dilibatkan untuk mewakafkan lahan –sebagai bentuk amaliah--mereka untuk kepentingan konservasi alam.

Demikian pula zona-zona harim, dapat dimasyarakatkan melalui penyadaran kepada masyarakat bahwa melestarikan kawasan aliran air dan jasa ekosistem merupakan anjuran syariat. Maka dengan memahami penerapan syariat yang menganjurkan pada kemaslahatan bersama dan didalamnya adalah unsur ibadah kepada Allah SWT, akan lebih banyak partisipasi ummat dalam menyumbangkan lahan-lahan mereka untuk kepentingan konservasi, Insya Allah.

Wallahu ‘alam

_______________________________________________
[1] Project Manager for Conservation and Religion, Conservation International Indonesia.
Tulisan ini dipublikasikan di Jurnal Islamia Vol III(2) Maret 2007: 90-96.
[2] John and Kath MacKinnon, G. Child and J. Thorsell. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gaja Mada University Press, Yogyakarta. Hal 1.
[3] Llewellyn, O.1992. Desert Reclamation dan Conservation in Islamic Law. In F.M. Khalid and JO.Brien (eds), Islam and Ecology. WWF-Cassel Pub.London. p 92.

Islam and Ecology by Sheila Musaji

The link below containing a collection of articles on Environment & Ecology in Islam, compiled by Sheila Musaji, may be of interest to you

http://theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/environment_ecology/003069


Website di bawah berisi kumpulan artikel tentang Alam Sekitar/Lingkungan Hidup & Ekology menurut ajaran Islam, yang dikumpulkan oleh Sheila Musaji, bagi anda yang berminat untuk mempelajarinya sila kunjungi

http://theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/environment_ecology/003069

Artike Abdur-Razzaq Lubis yang berjudul "Environmental Ethics in Islam" dapat juga diakses pada website: www.mandailing.org

Hakikat Manusia Sejati

Oleh Fachruddin Mangunjaya, dicuplik dari bukunya ‘Hidup Harmonis dengan Alam’ (2006)

Manusia sebenarnya mampu mewujudkan dan mengelola lingkungan yang bersih serta bumi yang hijau. Pertama, manusia memang dilahirkan dalam keadaan ‘fitrah’, tidak memiliki apa-apa namun cenderung bersih. Filosofi ini seharusnya membawa manusia pada kedewasaan berpikir dan bersikap. Manusia terlahir bersih, dan ketika mati akan dikembalikan dalam keadaan bersih, tidak membawa lagi sampah dan ikutan yang lainnya. Sampah, polusi dan barang-barang tidak terpakai lainnya hanyalah ikutan setelah manusia lahir dan hidup di dunia, bukan dibawa sejak lahir. Ketika manusia hadir di dunia hendaklah tidak mencemari lingkungan sebagaimana bersihnya mereka ketika lahir. Oleh karena itu sikap bersih seharusnya ditumbuh kembangkan dari dalam diri sendiri, dan selalu dijaga hingga akhir hayat.

Kedua, penanggulangan masalah lingkungan dan hijaunya planet tidak sekedar persoalan sampah dan menanam pohon, tetapi merupakan rangkaian kesadaran manusia dalam memelihara kelestarian hidup mereka di bumi. Hijaunya pohon dan bersih lingkungan, akan mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan warga negara yang sehat. Polusi dan pencemaran adalah penyakit, kehijauan ekosistem dengan vegetasi hijau yang cukup akan mampu menciptakan keseimbangan atas pencemaran yang dilakukan oleh manusia.

Ketiga, kesadaran kolektif warga negara yang mempunyai akar kuat pada tradisi di negara-negara berkembang tampaknya tidak bisa selalu didekati dengan pendekatan yang terlalu ilmiah—seperti halnya penyadaran lingkungan yang dilakukan di negara maju. Pendekatan spiritual atau agama menjadi penting. Alasan­nya, bahasa-bahasa yang digunakan agama –selain memiliki pesan moral yang kuat—juga memberikan peringatan yang keras—akan konsekuensi apabila ajaran tersebut diabaikan. Manusia boleh saja melanggar peraturan yang mereka buat, tetapi dalam persoalan ling­kungan, Tuhan telah memberikan rumus bahwa bumi berjalan di atas hukum alam. Konseku­ensinya siapa saja yang melanggar hukum Tuhan akan merasakan akibatnya. Sebagai contoh, (1) keserakahan manusia yang menebang hutan, sebagai ganjaran—akibatnya adalah: banjir, kekeringan dan pemanasan global,(2) kecerobohan menangkap ikan dengan menggunakan potassium—racun sianida—dan bom, mengakibatkan terumbu karang—tempat ikan tinggal—mati dan hasil tangkapan berkurang. Dengan demikian penghasilan yang diperoleh sebagai tangkapan nelayan akan berkurang, sehingga menurunkan kualitas penghidupan setempat.

Keempat, menguraikan kebijakan tersebut, para ilmuwan (scientist) dan ahli biologi konservasi serta para pratiktisi lingkungan hendaknya bersatu dengan ahli-ahli dan praktisi agama, untuk menjabarkan dan memberikan peringatan kepada warga negara dengan menguraikan logika dan etka terkait mengapa manusia dilarang membuat kerusakan dan mengelola lingkungan di bumi. Tentunya, harus ada alasan ilmiah pengambilan kebijakan pembangunan lingkungan dengan memberikan kesempatan (bahkan mendorong) ahli agama memberikan masukan, sehingga dalam taraf sosialisasi, masyarakat mendapatkan jaminan bahwa pembangunan tersebut mempunyai manfaat dalam kehidupan mereka dan kehidupan agama yang mereka jalankan.

Bagian tulisan dalam:

Primarck, R. J. Supriatna, D. Indrawan. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: inpress.

Pendekatan Etika dan Agama

Kesadaran meningkat diseluruh dunia, bahwa seperti halnya dengan pendekatan-pendekatan hukum, sosial, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tengah dikembangkan saat ini, etika dan agama memiliki sumbangsih yang kuat bagi konservasi.

Dalam bukunya, ‘Etika Lingkungan’, Sonny Keraf (2002) mengingatkan bahwa setiap makhluk hidup memiliki kepentingan yang harus diperhitungkan dan diberi bobot yang sama. Perlu dibangun kesadaran bahwa alampun sebenarnya memiliki hak asasi. Lebih lanjut, dengan menghargai bahwa komunitas ekologi saling berhubungan dan masing-masing memiliki nilai tersendiri, perlu dibangun kearifan mengatur hidup selaras dengan alam. Mengajak manusia modern untuk kembali ke alam, kembali ke jati dirinya sebagai makhluk ekologis telah menjadi proyek utama etika lingkungan. Ke depan perlu dipahami pakem ‘keberlanjutan ekologi’ yang seyogyanya dapat menggantikan ‘pembangunan berkelanjutan’.. Meminjam istilah Arne Naess, adalah lebih penting menjadi lebih dibandingkan mempunyai lebih (‘not having more, but being more’). Ekofeminisme, yang merupakan suatu etika keperdulian menjadi penting pula. Ekofeminisme adalah etika kasih sayang, seperti ibu yang merawat bayi. Meskipun sang bayi tidak berdaya, namun tetap bernilai. Pada akhirnya, etika lingkungan memiliki sejumlah prinsip yang bila dipraktekkan dapat menyelamatkan lingkungan dalam era otonomi daerah. Perjuangan mendukung keberlanjutan ekologi sebenarnya sudah sejak dahulu dipraktekkan masyarakat adat di seluruh dunia melalui sikap hormat dan perduli terhadap kelangsungan hidup di alam semesta (Keraf op.cit) .

Pada dasarnya seluruh agama di dunia mengajarkan manusia untuk hidup damai dan berkelanjutan serta berharmonisasi dengan alam (Keraf 2002, Yahya 2003, Mangunjaya 2005, Mangunjaya 2006, lihat Kotak 6.1.).

Mangunjaya (2006) menguraikan bagaimana spiritualitas agama telah kembali dipertimbangkan para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia. Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan upaya para ilmuwan dan ahli agama untuk bersatu menyikapi situasi lingkungan kita. Kecenderungan dan kemajuan yang tercatat adalah sebagai berikut (Mangunjaya, op.cit). Pertama, dalam sebuah pertemuan pemimpin agama dan sains yang disebut: ‘Join Apppeal by Religion and Science for the Environment,” yang diadakan bulan Mei 1992 di Washington, D.C. Para ilmuwan dan pemimpin agama salah satunya menyatakan: “Kami yakin bahwa sains dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan yang terjadi di bumi. Tetapi kami yakin bahwa dimensi krisis ini sebenarnya tidak sepenuhnya diambil hati oleh para pemimpin kita yang memimpin lembaga-lembaga penting dan juga pemimpin industri. Namun demikian, kita menerima kewajiban kita untuk membantu memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap jutaan orang yang kita layani dan ajarkan mengenai konsekuensinya apabila terjadi krisis lingkungan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini” (Calvin B. DeWitt. 2002. The Good in Nature and Humanity Stephen R. Kellert dan Timothy J. Farnham, Island Press).

Kedua, pertemuan pemimpin agama-agama di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun 1986 ini bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan

“Deklarasi Assisi” di mana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam:

“Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidakperduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan” (Budha).

“Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu).”

“Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusak­annya,” (Kristiani)

“Manusia adalah pengemban amanah,”berkewajiban untuk memelihara keutuhan CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli,” (Muslim)

Ketiga, di tingkat regional, Indonesia menyelenggarakan hal yang sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan The World Bank mengundang pemuka-pemuka agama mengadakan Conference on Religion and Conservation pada 18 Desember 2002, yang menghasilkan ‘Kebun Raya Charter’ yang intinya meli­bat­kan peran para pemuka agama dan ulama dalam menanggulangi permasalah konservasi alam dan lingkungan hidup.

Walhasil, sikap dan keteladanan pemimpin Agama dalam memelihara lingkungan dan kelestarian alam perlu kembali dilihat, misalnya dalam Islam banyak sekali Wisdom (kearifan) Rasulullah SAW, dalam menghormati makhluk hidup: sebagaimana diriwayat­kan, bahwa Nabi SAW menegur sahabatnya yang dalam pada saat perjalanan mereka menangkap anak burung yang berada di sarang­nya. Ketika merasa kehilangan anak, induk burung itu pun mengi­ringi—terbang di atas rombongan—Rasullullah. Ketika menyaksikan hal itu Nabi bersabda: “Siapakah yang menyusahkan burung ini dan mengambil anaknya?Kembalikan anak-anaknya padanya.” (hadits riwayat Abu Daud)

Dalam umat Kristiani (Katholik) dikenal Santo Francis Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa: “Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang ke mana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungi mu dari marabahaya dan mengatur hidupmu tanpa kamu merasakan­nya.” (Mangunjaya, op cit)


Bagian tulisan dalam:

Primarck, R. J. Supriatna, D. Indrawan. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: inpress.