Dosen STAIN Surakarta, Mahasiswa S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bagai bola salju, isu-isu tentang lingkungan terus mendapatkan perhatian semakin luas. Nobel Perdamaian tahun ini pun dianugerahkan pada sosok pemerhati lingkungan, yakni Albert Gore. Agama-agama besar dunia sejak Deklarasi Stockholm pada Juni 1972 juga diarahkan untuk membantu menopang kesadaran pelestarian lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarannya. Ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas perlindungan lingkungan, juga mampu memperkaya konsep-konsep hukum tentang kesinambungan ekologi.
Harus kita sadari bahwa kondisi lingkungan global yang kian memburuk dan kritis tidak cukup hanya diatasi dengan seperangkat peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga perlu kesadaran otentik dari relung-relung batin setiap individu yang wujudnya adalah nilai-nilai moral dan agama.
Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam memengaruhi world-view pemeluknya dan menggerakkan dengan amat kuat perilaku-perilaku mereka dalam kehidupan. Karena itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap lingkungan amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama mengenai lingkungan disajikan dan dieksplorasi oleh para elitenya dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis.
Di era modern, ketika kehidupan manusia dan masalah-masalahnya begitu kompleks, peran agama sangat dibutuhkan untuk memberi topangan nilai. Agama tidak lagi hanya berkutat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek riil masyarakat pemeluknya.
Caranya adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral sehingga manusia memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi masalah-masalahnya dengan tanpa merusak harmoni dengan lingkungannya. Dengan nilai-nilai moral agama, manusia memiliki kecakapan mengatasi dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya seperti hukum dan sejumlah peraturan.
Urgensi fikih lingkungan Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan, dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan menggetarkan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini.
Namun, kini para intelektual Islam telah memperluas ruang lingkup kajiannya pada isu-isu modern tersebut dalam karya-karya mereka. Ini menandai adanya sense of future dari para ulama untuk memperbesar kapasitas peran hukum Islam dalam kehidupan modern. Islam disadari harus mampu berbicara di panggung dunia dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan, sehingga perannya tidak lagi terbatas dan eksklusif. Kesadaran untuk melakukan transformasi fikih Islam tidak lahir dari luar, tetapi tumbuh secara organik dari dalam berupa pesan-pesan universal syariah yang selama ini masih tertunda implementasinya dan belum dieksplorasi secara optimal.
Karena itu, kebutuhan untuk memperluas kapasitas hukum Islam dalam masalah-masalah modern bukanlah suatu hal yang asing dan aneh. Maksimalisasi peran hukum Islam bisa dilakukan tanpa hambatan teologis. Bahkan ia merupakan bagian integral dari sejarah perkembangan hukum Islam yang menyertai peradaban Muslim. Upaya mengembangkan fiqh al bi'ah (fikih lingkungan) dan merumuskannya ke dalam kerangka-kerangka yang lebih sistematik merupakan sebuah keniscayaan.
Pengembangan fikih lingkungan kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis secara sistematis oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi. Islam sebagai agama yang secara organik memerhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk memproteksi bumi. Dalam Alquran sendiri kata 'bumi' (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam. Bahkan kata syariah yang sering dipadankan dengan hukum Islam memiliki arti 'sumber air' di samping bermakna 'jalan'. Dalam konteks perlindungan lingkungan, makna syariah bisa berarti sumber kehidupan yang mencakup nilai-nilai etik dan hukum.
Komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan juga banyak disebutkan dalam Alquran dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.
Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai penguasa alam), namun ada perintah untuk mengelolanya dengan segenap pertanggungjawaban. Konsep khalifah sebagaimana disebut dalam QS 2:30 bermakna responsibility. Makna sebagai wakil Tuhan di muka bumi hanya akan berlaku jika manusia mampu melestarikan bumi sehingga seluruh peribadatan dan amal sosialnya dapat dengan tenang ditunaikan. Ini masuk akal karena suatu ibadah atau pengabdian kepada Allah dan manusia tidak dapat dilakukan jika lingkungan buruk dan atau rusak.
Dalam kerangka pemikiran tersebut, maka melindungi dan merawat lingkungan merupakan suatu kewajiban setiap Muslim dan bahkan menjadi tujuan pertama syariah. Mustafa Abu Sway (1998) menyatakan bahwa menjaga lingkungan merupakan tujuan tertinggi. Gagasan Mustafa Abu Sway tersebut dapat dianggap sebagai suatu terobosan ijtihad tentang pelestarian lingkungan berdasarkan tujuan syariah.
Muatan-muatan fikih klasik yang membahas tema-tema lingkungan secara terpisah dan abstrak perlu diberi bobot-bobot ekologis. Seperti dapat dibaca, dalam fikih klasik ada bab-bab seperti al taharah (bersuci), al shaid (berburu), ihya' al mawat (memanfaatkan tanah mati), al 'at`imah (hukum tentang makanan), al ssyribah (hukum tentang minuman), dan lain-lain. Tema-tema ini merupakan bagian dari kajian lingkungan. Tema-tema ini bisa diperluas dengan tema-tema lain yang terkait dan selanjutnya dinaikkan menjadi suatu hukum lingkungan Islam atau fiqh al bi'ah.
Keterlibatan sejumlah negara Islam dalam sejumlah program aksi global tentang perlindungan lingkungan membuat Islam harus memainkan peran penting melalui kontribusi-kontribusi pemikirannya. Fikih lingkungan bisa menjadi pintu masuk ke arah penguatan kapasitas perannya itu. Bukan saja untuk memperbaiki kualitas perlindungan lingkungan di negara-negara Muslim itu sendiri, fikih lingkungan juga untuk menopang gerakan global dalam masalah pembangunan berkesinambungan. Dalam arti inilah, fikih lingkungan bisa menjadi milestone bagi penguatan kapasitas hukum Islam dalam kehidupan modern.
Ikhtisar
- Lingkungan telah menjadi isu penting dalam dinamika perubahan dunia.
- - Moral dan agama dipercaya banyak kalangan memiliki kekuatan besar untuk menjaga kelestarian lingkungan.
- - Islam telah memiliki dasar ajaran yang sangat ramah dan penting bagi upaya pelestarian lingkungan.
- - Dasar-dasar ajaran tersebut semestinya bisa menjadikan umat Islam mengambil peran penting dalam program-program konservasi alam.
Sumber : REPUBLIKA