Tuesday, April 15, 2008

Madrasah Hijau Indonesia

Oleh Saleem H. Ali*)

Burlington, Vermont – Di pedalaman Jawa Tengah, pulau terpadat di Indonesia, terdapat bentuk gerakan lingkungan hidup yang tidak biasa. Dibayangi oleh Gunung Merapi dan dikelilingi oleh sawah dan ladang tebu yang subur, sebuah sekolah kecil mencetak para aktivis lingkungan hidup yang komitmennya terhadap bumi tidak dilandaskan pada buku-buku teks konservasi dari Barat, tapi lebih didasarkan kepada nilai-nilai Islam.

Sang kepala sekolah, Nasruddin Anshari, kerap mengulang kalimat "satu bumi bagi semua", sebanyak dia biasa mengucapkan "Allahu Akbar".Sekolah pesantren di Indonesia telah dicermati sedemikian rupa beberapa tahun belakangan, akibat anggapan adanya hubungan antara pesantren dengan insiden terorisme seperti bom Bali pada tahun 2005.

Bahkan kandidat presiden Barack Obama merasa harus menjauhkan diri dari masa-masa kecilnya di Indonesia, karena bertiupnya rumor bahwa dia pernah bersekolah di pesantren, oleh sebab ayah kandung maupun ayah tirinya adalah Muslim. Namun transformasi yang bertempat di Pesantren Lingkungan Giri Ilmu pasti akan menyenangkan para pemilih di Barat. Anak-anak dari desa Bantul belajar tentang pentingnya melindungi ekosistem mereka sebagai tanda keimanan pada Tuhan.

Tak jauh dari pesantren yang ramah lingkungan ini, Universitas Perdamaian yang amanatkan PBB mengadakan workshop selama sepekan mengenai pendidikan perdamaian dalam konteks Islam pada November 2007 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Para cendekiawan dari sejumlah negara Islam berkunjung untuk mempertimbangkan berbagai dimensi pendidikan perdamaian dan mengembangkan rancangan pelajaran untuk diimplementasikan di sekolah-sekolah Islam. Islam sebagai agama yang terorganisir muncul di lingkungan gurun pasir Arabia, dan sejak itu perhatian yang sungguh-sungguh diberikan kepada masalah-masalah ekologi dalam etika Islam.

Meskipun teologi Islam bukanlah panteisme, dan memiliki banyak persamaan antroposentris dengan agama-agama Ibrahim lainnya, namun ada semacam penghormatan terhadap alam, yang berasal dari pragmatisme esensial dalam agama tersebut. Karena kelangkaan sumber daya, umat Muslim awal menyadari bahwa pengembangan jangka panjang hanya dimungkinkan dalam pemeliharaan ekologi yang dilakukan oleh seluruh umat manusia. Karenanya, kesemestaan sumber-sumber daya lingkungan hidup menyediakan model yang berharga untuk membangun perdamaian.

Walau demikian, ada beberapa tantangan sistemik terhadap realisasi paradigma pengembangan berkelanjutan dalam Islam kontemporer. Pertama, keyakinan Islam bahwa manusia adalah mahluk Tuhan yang paling utama, menghadapi tantangan serius untuk menanamkan etika lingkungan hidup, terutama berhubungan dengan hak-hak binatang.

Namun, terdapat sejumlah perintah tentang tanggung jawab yang muncul seiring dengan status sebagai “mahluk utama.” Konsep khalifah mensyaratkan para khalifah untuk merawat/mengurus bumi dan semua mahluk di atasnya.Kedua, fokus kepada kehidupan sesudah mati daripada masa kini telah membuat banyak Muslim menganggap tantangan lingkungan hidup dan pembangunan sebagai hal yang sepele. Hal ini mengarah pada puas diri dan fatalisme tentang masalah dalam pembangunan, karena hal itu dianggap sebagai takdir Tuhan. Tapi fatalisme ini tak lagi meresap di antara umat Muslim yang taat di Indonesia. Sekolah-sekolah Islam di negara Islam terbesar di dunia ini menyadari bahwa ibadah yang paling besar adalah memelihara sumber daya alam tempat kehidupan semua mahluk bertumpu. Seperti halnya bunuh diri dilarang dalam Islam karena penghargaan yang mendalam terhadap kesucian jiwa, begitu pula halnya dengan merusak sistem pendukung kehidupan yang membuat planet kita begitu unik.

Di luar Indonesia, ada beberapa tanda perubahan positif yang menjanjikan. Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science, yang berbasis di Birmingham, Inggris, sedang mengembangkan sejumlah program untuk institusi-institusi keagamaan di negara-negara Islam di seluruh dunia. Pada akhir 2006, US Agency for International Development meluncurkan program pendidikan lingkungan hidup di Tanzania yang menargetkan 12.650 murid sekolah dasar dan 12.650 murid madrasah, melatih 220 guru sekolah dasar dan 220 guru madrasah tentang masalah-masalah ekosistem pantai dan laut.Bahkan negara-negara seperti Iran mengambil langkah positif dalam hal ini dan cukup bangga akan fakta kesuksesan Konvensi Ramsar tentang Perlindungan Rawa, yang mengambil nama dari salah satu kota di Iran saat konvensi itu ditandatangani pada 1971.

Meskipun Iran mengalami konflik beberapa tahun sesudahnya, dan mengabaikan soal lingkungan hidup, namun pada tahun 2004, pemerintah Iran membuat konferensi internasional tentang keamanan lingkungan hidup, yang juga mengundang Amerika. Konferensi ini telah membangun landasan yang kuat untuk menggunakan konservasi lingkungan hidup dalam menciptakan perdamaian. Mantan presiden Iran, Mohammad Khatami, menyatakan bahwa, “Polusi merupakan ancaman yang lebih besar daripada perang dan perjuangan untuk memelihara lingkungan hidup mungkin merupakan isu paling positif untuk mempersatukan negara-negara teluk.”Negara-negara teluk juga berusaha untuk mengurangi jejak hitam ekologi mereka yang amat besar. Abu Dhabi telah berkomitmen untuk membangun kota bebas karbon pertama di dunia dengan 40.000 jiwa penduduk pada tahun 2012. Dan Kota Masdar akan mengutamakan institusi pendidikan dan sejumlah perusahaan teknologi ramah lingkungan untuk mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Jika energi para cendekiawan Muslim Pakistan dan madrasahnya, serta kaisar pembangunan kita bisa disalurkan ke arah kegiatan sosial dan lingkungan hidup yang positif semacam itu, mungkin kita bisa mulai menghargai persamaan kita sebagai manusia. Daripada berbicara terus tentang retorika yang memecah-belah suku dan sekte, atau bujukan politik, kita lebih memiliki kepentingan teologis dan teleologis untuk “menghijaukan masyarakat kita.”###*

Dr. Saleem H Ali (saleem@alum.mit.edu) adalah wakil dekan pendidikan tinggi di University of Vermont’s Rubenstein School of Environment dan editor Peace Parks: Conservation and Conflict Resolution (MIT Press). Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.Sumber: Daily Times, 19 Januari 2008, www.dailytimes.com.pk Telah memperoleh hak cipta.