Monday, January 31, 2011

Actualizing the theology of global warming

By Ali Sobirin

Bad news about the food crisis facing the world as a result of global warming marked the start of 2011. The threat was voiced by the CEO of flour giant PT Bogasari, Franciscus Welirang, on the sidelines of a work-plan meeting for development programming at the JCC in Jakarta recently.

The crisis is a continuation of the disaster in 2010, and will match or exceed the previous crisis in 2008. As an impact of climate change, global food production continued to drop, triggering price hikes, including wheat by 65 percent, corn by 35 percent and soybeans by 30 percent, not to mention the chili pepper prices.

We have understood that global warming is a major cause of heat waves, floods, drought, tropical winds, rising sea levels and the extinction of biodiversity. Global warming also contributes substantially to the increases in the number of diseases and death, especially in countries that lack adaptive capacity, including Indonesia.

As a nation that believes in God, with Muslims making up the majority of the population, Indonesia has begun to build and manifest a theology of global warming and climate change.

The theology suggests that natural resources, especially energy, have limitations (ajalin musamma), as mentioned in the Koran 46:3, 30:8, 22:32 and 13:2. Therefore, these must be managed wisely and sustainable energy conservation must be promoted.

There are at least three principles laying the foundation for this theology. First, the Earth is a place of ideal life, as stated in the Koran 55:10, 7:24 and 7:74. Second, the sky (atmosphere) is a protector of life as quoted in the Koran 2:22 and 21:32. As a material that serves as both a habitat and guardian of life, the Earth and sky should be managed and utilized properly. Arbitrary treatment could potentially destroy life, both directly and indirectly. Third, global warming is anthropogenic, which means it is a result of erroneous human behavior in managing natural resources and the environment.

As we know, fossil-based energy sources such as coal, oil and natural gas have been used as sources of energy and produce huge emissions, such as carbon dioxide, methane, nitrous oxide, and various other toxic gases, into the atmosphere. These various gases are responsible for climate change and global warming, better known as the greenhouse effect. At the same time, deforestation is widespread.

The third principle emphasizes that caring for the Earth and the sky is a religious duty (Koran 7:56 and 28:83) and becomes a prerequisite for realization of the goals of sharia (maqashid shari’ah).

In failing to take care of the Earth and sky, the five basic tenets of the good of human life (al-dlaruriyat al-khamsa), which are to maintain religion (hifdz al-din), keep the soul (hifdz al-nafs), keep the lineage (hifdz al-nasl), keep the mind (hifdz al-‘aql) and maintain property (hifdz al-mal), will not be fulfilled.

According to the World Health Organization, climate change was responsible for 2.4 percent of diarrheal diseases and 6 percent of malaria infections in low-income countries in 2000. Climate change has also caused 150,000 annual deaths, and will double by 2030.

Islamic boarding schools (pesantren) can play a pivotal role in promoting awareness of climate change among Muslims in the country. There are several reasons why pesantren could be very a important locus in manifesting the theology of global warming.

First, sociologically, pesantren has a community-root base. It is recognized by prominent anthropologist Clifford Geertz, who identified pesantren as one of the sub-cultures of Indonesia. This is related to the existence of pesantren as a main place of socio-cultural community creativity.

Moreover, most pesantrens are located in rural areas and have always lent a hand to local farmers and fishermen, who experience the most severe impacts of global warming. Pesantren can play an active role in building the farmers’ and fishermen’s confidence and skills to survive the adverse impacts of global warming.

Second, theologically, pesantren holds strong to the concept of siding with nature and the environment. A weak point of pesantrens is their lack of access to detailed knowledge about both the environment and the technical skills required to handle it, especially with issues of global warming and renewable energy technologies. The theme of global warming and the environment are alien to pesantrens.

There are several things that can be done to encourage active and maximum participation of pesantrens in fighting climate change. First, describe the theology of global warming in greater detail, down to the grammatical rules of everyday behavior about how to be (fiqh) environmentally friendly.

Second, promote local government policies that favor the environment. Third, establish an environmental education curriculum. Fourth, drive an environmentally friendly education community. And fifth, build partnerships with other faith communities in the development of the theology of global warming.

Geographically, hundreds of pesantrens are located in the hills and mountains. This has a great potential for responsible forest conservation activities including, reforestation using renewable energy recourses and conservation, in this case the forest waste-based and micro-hydro electricity.

There are also hundreds of pesantrens situated in coastal areas with abundant sunlight and wind.

These pensatrens can be empowered to use renewable energy technologies such as wind turbine energy, sun-photovoltaic (solar cells) and solar-stirling engines.


The writer is program coordinator of the Research Institute for Sustainable Energy (RISE) of Pesantren and Community Development Association, Jakarta.

Source: Ali Sobirin, Jakarta | Fri, 01/28/2011 9:49 AM | Opinion



Friday, January 14, 2011

Bersama KLH, MUI Kerjasama Ecotheology Islam

5 Desember 2010. Dalam melinium kali ini, nampaknya agama telah merubah keilmuan tatakelola lingkungan hidup (LH) dan sumber daya alam (SDA) yang lebih beretika agar tercapainya kehidupan yang lebih baik, tidak hanya untuk manusia tetapi juga untuk seluruh ciptaan Nya.

Hal ini terlihat dari kerusakan lingkungan semakin hari semakin parah. Kerakusan manusia telah mengakibatkan ribuan korban jiwa serta berdampak pada kerugian sosial dan ekonomi masyarakat. Klimaknya, pemanasan global sebagai efeknya pun tak terhindarkan. Kalau didiamkan, berarti kita merelakan kerusakan itu terus terjadi, tentunya akan berdampak bagi kehidupan umat saat ini dan generasi selanjutnya.

Dalam perspektif Islam, kita semua diperintahkan tidak hanya untuk mencegah perilaku menyimpang ini (nahii munkaar), tetapi juga untuk melakukan perilaku yang baik (amr ma'ruuf).


Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam kurun 1819-2009 saja menunjukkan lebih dari 50% bencana merupakan banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan. Bencana ini belum termasuk bencana kerusakan lingkungan hidup lainnya sebagai akibat rusaknya ekosistem tanah, air dan udara yang mendukung kehidupan kita dan makhluk ciptaan Allah lainnya.

Sejak timbulnya masalah krisis global lingkungan, para ahli lingkungan telah menggunakan sudut pandang agama untuk memecahkan masalah lingkungan tersebut, dimana ekologi dilihat sebagai kesatuan organik antara alam dan isinya. Pemikiran ini secara global semakin populer sehingga mendorong teolog dan para ahli lingkungan bekerjasama dalam melihat masalah lingkungan dengan sudut pandang baru. Hal positif lainnya adalah bahwa hal ini menjadikan sarana dialog baru antar umat

Pemikiran penyatuan agama dan pemahaman keilmuan tatakelola Lingkungan Hidup (LH) dan sumber daya alam (SDA) sangatlah sejalan dengan ajaran dan konsepsi Islam. Karena tujuan syariah (maqashid as-syariah) berupa kemaslahatan umat, perlu adanya penyatuan keilmuan kauliyah yang datangnya dari Allah berupa Al-Qur'an dan Hadits dan keilmuan kauniyah yang diperoleh dari logika atas fenomena alam. Melalui kesatuan pemahaman kauliyah dan kauniyah ini, norma dan etika akan menjadi satu bangun yang utuh dan menyatu (endogen) dalam pemahaman pelestarian LH dan pengelolaan SDA.

Konsepsi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berbasis agama ini telah tertuang dalam kesepakatan bersama antara KLH dan MUI, dimana MUI akan berperan aktif dalam membangun peradaban masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ecoteologi Islam sebagai bagian dalam membantu pelaksanaan program pemerintah.

Begitu kurang lebih isi siaran pers yang di keluarkan Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 23 September 2010 yang merupakan tindak lanjut dari hasil Musyawarah Nasional VIII Majelis Ulama Indonesia pada 26-28 Juli 2010 ini.

Selanjutnya dalam siaran pers-nya menyatakan; bahwa lembaga ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keislaman dalam pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dalam tindakan dan perilaku kehidupan sehari-hari seluruh umat muslim khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, sehingga dapat terwujudnya kondisi kehidupan kemasyarakatan yang baik, serta memperoleh ridlo dan ampunan Allah SWT (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur).

Oleh karena itu agama menjadi faktor yang sangat penting dalam pelestarian lingkungan hidup sehingga akibat kerusakan lingkungan dapat dikurangi. Konsepsi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berbasis agama ini telah tertuang dalam kesepakatan bersama antara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dimana MUI akan berperan aktif dalam membangun peradaban masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ecoteologi islam sebagai bagian dalam membantu pelaksanaan program pemerintah. Penandatangan ini di lakukan di Kantor MUI pusat oleh Prof. Gusti Muhammad Hatta, MS dan Drs. K.H. Hafizh Utsman.

>>>> Selanjutnya

Link Terkait:

Fatwa MUI Kalimantan Tentang Lingkungan dan Illegal Logging


Pemenang Lomba Proposal Eco Pesantren 2010

10 Pondok Pesantren Berhasil Memenangkan Lomba Proposal Penyedia Sarana Fisik Pendukung Eco-Pesantren Tahun 2010

SUMBER : Kementerian Lingkungan Hidup

10 Pondok Pesantren berhasil ditetapkan sebagai pemenang Lomba proposal dari 40 Pondok Pesantren yang Proposalnya masuk ke panitia selama periode bulan Maret s/d Agustus 2010. Penyelenggaraan Lomba Proposal Penyediaan Sarana Fisik Pendukung Eco-Pesantren sebagai salah satu bentuk aplikasi Program Eco-Pesantren, bertujuan antara lain untuk memotivasi dan mendorong terwujudnya upaya penyediaan sarana fisik dan kegiatan ramah lingkungan secara swadaya dan mandiri oleh Pondok Pesantren sebagai salah satu ciri bahwa Pondok Pesantren tersebut telah berwawasan lingkungan. “Pengembangan sarana fisik dan kegiatan ramah lingkungan yang dipelopori oleh Pondok Pesantren diharapkan dapat dijadikan percontohan bagi komunitas Pondok Pesantren dan masyarakat sekitarnya”. Demikian antara lain disampaikan oleh Ir. Bambang Widyantoro, Asisten Deputi Urusan Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan, Deputi Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat pada acara Rapat Tim Teknis Penilaian dan Penetapan nominasi Pemenang Lomba Proposal Tahap I yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 2010 yang lalu.

Susunan keanggotaan Tim Teknis Penilai dan Penetapan Nominasi Pemenang Lomba Proposal Penyediaan Sarana Fisik Pendukung Eco-Pesantren terdiri dari : Pengarah Ir. Bambang Widyantoro, Penanggung Jawab Wartim Sumana, S.Sos dari KNLH, Ketua Prof. Dr. H. Ahmad Sudirman Abbas, MA dari UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Drs. Fachruddin Mangunjaya, M.Si dari Conservation Internasional (CI), Anggota : Drs. H. Mardani Djuhri, MA dari Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta, H. Mora Sakti Hutasuhut, S.Sos. M.PdI, Zaimah, S.Sos. M.Si dan Prasetyo Nugroho, S. Sos. Msi, serta Staf Pendukung dari KNLH.

Ke 10 Pondok Pesantren yang berhasil memenangkan lomba Proposal tersebut akan mendapatkan hadiah berupa biaya untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan proposalnya dan Piagam Penghargaan dari Deputi VI Menteri Negara Lingkungan Hidup, sbb:

No.

Kategori yang diperlombakan

Nama dan Alamat Pondok Pesantren Pemenang Lomba

Cluster Wilayah

1.

Perpustakaan Berbasis Lingkungan

Tidak ada


2.

Pengembangan Layanan Informasi berbasis lingkungan

1. Darul Falah Jekulo, Kudus, Jawa Tengah

Jawa Tengah

2. Pondok Pesantren Modern IRSAL, Bandung, Jawa Barat

Bandung Raya

3.

Pengelolaan Sampah Terpadu

3. Pondok Pesantren Riyadlus Solihin,

Probolinggo, Jawa Timur

Jawa Timur

4. Darul Ulum Banyuanyar Palengan

Pamekasan, Madura

Madura

4.

Pengelolaan Sanitasi dan Sumber Air Bersih

5. Al Ma’arif Bukittinggi, Sumatera Barat

Sumatera Barat

5.

Pemanfaatan Lahan untuk kegiatan Ramah Lingkungan

6. Islamic Studies Centre (ISC) Aswaja

Lintang Yogyakarta

D.I. Yogyakarta

7. Daar El Ma’arif, Pandeglang, Banten

Banten

8. Yayasan Pendidikan Pesantren

Miftahulhuda Al Musri Cianjur, Jabar

Bogor, Sukabumi,Cianjur

9. An Nuriyah Bontocinin, Jeneponto

Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan

10. Mahad Nurul Haromain, Pujon

Malang, Jawa Timur

Jawa Timur

Sumber : Asisten Deputi Urusan Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan, Deputi VI KNLH

Sunday, January 2, 2011

Many Heavens, One Earth

Check out film clip, Many Heavens, One Earth. Betsy Quammen of Tributary Fund interviewed fourteen religious leaders from around the world at a celebration called Many Heavens, One Earth, presented by the Alliance of Religions & Conservation (ARC) and the UNDP. The Tributary Fund had exclusive film rights, allowing us to film inside Windsor Castle as well as interview international faith leaders attending the celebration.

This short selection of interviews is just a taste of the power behind faith and the environment! Ideally, this film will grow into a longer inspirational piece that explores actual on-the-ground projects led by people of faith around the world (for example, Rev. Dr. Shoo's project involves a faith-based shift in traditions that will result in planting 8.5 million trees in Tanzania).




Film diatas merupakan dokumentasi The Tributary Fund sebuah LSM yang bergerak untuk menjaring mitra agama dan konservasi lingkungan. Fachruddin Mangunjaya, dari Indonesia termasuk salah satu nara sumber untuk wawancara ini.

Lihat cerita terkait: Windsor Celebration