Oleh: M Zainal Abidin
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin
Perhatian masyarakat dunia terhadap berbagai persoalan lingkungan semakin mendapatkan tempat di tengah gencarnya publikasi akan bahaya dari pemanasan global (global warming). Secara kasat, global warming diyakini menjadi penyebab utama dari bencana yang kerap mendatangi bangsa kita akhir-akhir ini.
Sebagai bangsa yang agamis, ada dua pandangan utama yang berkembang pada masyarakat kita dalam melihat berbagai bencana yang sering melanda. Pertama, kalangan yang melihatnya sebagai akibat dari perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap aturan Tuhan yang semakin tidak terkendali. Adanya bencana dipandang sebagai azab Tuhan. Kedua, kalangan yang melihatnya murni sebagai fenomena alam dan tidak ada hubungan dengan urusan agama berupa dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia.
Kedua pandangan ekstrem tersebut kiranya harus dijembatani. Mengabaikan cara pandang agama dalam melihat kerusakan alam sudah tidak relevan sebagaimana juga tidak tepatnya membuang analisis ilmiah atas berbagai penyebab terjadinya berbagai kerusakan alam tersebut. Agama sendiri belakangan dipandang sebagai salah satu pendekatan yang cukup ampuh dalam upaya membangun kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan (alam).
Tulisan ini secara khusus difokuskan pada upaya inseminasi gagasan teologi lingkungan, yaitu bagaimana ajaran teologi agama (Islam) dapat dimanfaatkan dalam upaya membangun kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Gagasan ini kiranya akan melengkapi formulasi fikih lingkungan yang sudah mulai diterima di masyarakat kita.
Sebuah diskriminasi
Ada tiga tema yang sering didiskusikan dan menjadi perdebatan sangat dinamis dalam kajian keilmuan Islam klasik, yaitu masalah Tuhan, manusia, dan alam. Ketiga persoalan ini menjadi tema sentral yang lazim disebut sebagai trilogi metafisika. Dari ketiga tema itu, masalah ketuhanan menempati rangking pertama. Adapun tema yang menyangkut manusia dan alam menempati porsi yang sedikit, dan yang sedikit inipun lebih banyak dibicarakan dalam konteks ketuhanan dan cenderung bersifat metafisik (abstrak).
Sebagai respons dari kenyataan ini, belakangan gencar dikumandangan oleh pemikir Muslim kontemporer gagasan untuk menggeser wacana teologis yang metafisis dan abstrak ke persoalan yang lebih konkret. Salah satu tokoh kontemporer yang bersemangat dan telah menulis buku yang cukup memadai dalam tema teologi, adalah Hassan Hanafi. Dalam serial bukunya yang berjudul At Turats wa Al Tajdid: minal aqidah ila tsaurah, Hanafi menyatakan bahwa consern utama teologi atau keilmuan akidah klasik lebih kepada urusan bagaimana membela Tuhan. Ini, kata dia relevan dengan semangat zaman dahulu, tetapi tidak untuk sekarang. Sebagai tawaran, Hanafi mengusulkan bagaimana teologi atau akidah itu dibangun atas semangat membela manusia.
Apabila kita mencermati pola pemikiran teologis, tampaknya dari ketiga hal tersebut, yang paling didiskrimanisikan adalah wacana kealaman atau lingkungan. Pada kajian fikih sendiri, lebih banyak menyinggung tentang hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan persoalan relasi sesama manusia (hablum minannas). Masih sangat sedikit kajian fikih yang secara khusus berbicara mengenai pola hubungan manusia dengan alam.
Kembali pada semangat untuk membangun kesadaran teologis akan pentingnya menjaga kelestarian alam, maka satu persoalan yang menjadi poin utama pada artikel ini adalah bagaimana cara taubat bagi mereka yang melakukan kerusakan lingkungan. Ada dua model taubat yang umum dipahami dalam Islam. Pertama, bagi individu yang melakukan kesalahan atau perbuatan dosa yang sifatnya pribadi, maka model taubat yang diajarkan yaitu dia memohon ampun secara langsung kepada Tuhan dengan niat tulus untuk tidak mengulanginya lagi. Pada tingkatan ini, model taubatnya cenderung sederhana, karena hanya berorientasi vertikal kepada Tuhan.
Kedua, menyangkut kesalahan atau dosa seorang individu yang melibatkan individu atau manusia yang lain seperti perbuatan dzalim atau utang piutang. Terhadap dosa atau pelanggaran yang melibatkan manusia lain atau lazim disebut dosa sosial, para ulama umumnya bersepakat bahwa taubat vertikal saja tidak cukup. Pada tingkatan ini, taubat vertikal dengan
Tuhan dan kemaafan horizontal dari manusia lain harus berjalan seiring.
Sebenarnya selain kedua model itu, kaitannya dalam hubungan manusia dengan alam, penting untuk diperkenalkan model taubat khusus, dan ini kiranya menempati tingkatan ketiga. Manusia yang berbuat dosa atau kesalahan pada alam atau lingkungan, seperti merusak atau mengganggu keseimbangan alam, maka cara taubatnya tidak cukup hanya dengan media vertikal kepada Tuhan atau permakluman pada manusia. Karena alam yang dicederai, maka ridha dari alam harus terlebih dahulu diperoleh. Caranya dengan memulihkan kerusakan yang telah dilakukan pada alam, baru kemudian memohon ampunan kepada Tuhan.
Penting untuk ditekankan bahwa khusus perbuatan dosa kepada alam (dosa alamiah), maka azab yang ditimpakan Tuhan berlaku secara umum, tanpa memandang apa seseorang terlibat atau malah tidak tahu sama sekali terhadap kerusakan alam yang telah terjadi. Menjaga alam dari kerusakan dapat ditetapkan sebagai fardhu kifayah, yang apabila tidak dilaksanakan, maka seluruh manusia yang ada pada wilayah itu akan mendapatkan balasan adzab yang sifatnya kolektif.
Apabila sementara ini dikembangkan istilah kesalehan individu, yaitu gambaran mereka yang kualitas ibadah ritualnya bagus dan kesalehan sosial, yaitu mereka yang yang consern untuk berbakti pada masalah sosial kemasyarakatan, maka kini perlu dikembangkan lagi satu jenis kesalehan, yaitu kesalehan alam. Kesalehan ini melekat pada mereka yang dapat menjaga alam atau lingkungan dengan bagus, melaksanakan mandat Tuhan sebagai khalifahnya di muka bumi.
Ketiga macam kesalehan ini idealnya terintegrasi pada diri seorang Muslim. ***
dikutip dari
REPUBLIKA, 16 November 2007
No comments:
Post a Comment