Monday, September 2, 2013

Kunjungan MUI ke Tesso Nilo dan Rimbang Baling


Tabayyun Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk  Melihat Konflik Satwa dan Manusia di Riau


Perjalanan ke Riau meninjau lapangan dengan membawa tim Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), 30 Agustus -1 September 2013, dalam rangka kunjungan lapangan, membawa makna tersendiri. Terlebih ini merupakan kunjungan pertama kali bagi masing-masing individu tim fatwa. Adapun tim Fatwa ini yang ikut serta adalah: KH Dr. Ma’rifat Iman, Prof Nahar Nachrowi, KH Nasir Zubaidi, Prof Amany Lubis dan Dr Hayu Prabowo (Ketua Pusat Pemuliaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam, MUI). Beberapa dari mereka adalah orang yang memang sangat senior dan boleh dikatakan sepuh, tapi bersemangat. Misalnya Prof. Nahar Nachrowi (70 tahun), tetap mengikuti kegiatan, berjalan di tengah hutan Tesso Nilo dan masuk hutan melalaui perahu, bertemu penduduk di Stasium Riset Pasir Subayang yang baru dihuni oleh WWF dan beru berusia empat bulan ( didirikan sejak awal Mei 2013).
 
Tim Fatwa MUI Pusat dan MUI Riau saat kunjungan
ke Pemandian Gajah Sumatra di TN Tesso Nilo

Perjalanan dimulai dari Pekan Baru, singgah berdiskusi di kantor WWF Riau dengan tema Dialog MUI dan Pemangku Kepentingan dalam Rangka Pembahasan Fatwa Pelestarian Harimau dan Satwa Langka Lainnya untuk mendapatkan masukan dari berbagai stakeholders Riau yang dihadiri dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA), Jikalahari, Kejaksaan Tinggi Riau, WWF, MUI Riau, Universitas Nasional, Harimau Kita, Ice of Forest, dll.

Dialog diadakan untuk menampung segala inspirasi terkait dengan pelestarian harimau dan gajah, serta hutan alam dengan segala kompleksitasnya. Kemudian dilanjutkan perjalanan menuju Taman Nasional Tesso Nilo pada pagi hari Sabtu (31/8), dan melintasi hamparan kebun sawit serta di sepanjang jalan yang nampak tidak putus-putus. Kami singgah sebentar di Polres Ukui, Kabupaten  Pelalawan, untuk mendapatkan pendampingan dan sekaligus laporan. Siang tiba di Tesso Nilo, kemudian menyaksikan korban konflik gajah dan manusia. Sebuah pondok roboh, beberapa tahun yang lalu karena di dorong oleh gajah. Pohon sawit yang dirambah gajah dan pondok kosong ditinggalkan penghuninya karena konflik dengan gajah.


Malamnya kami berdialog dengan Penduduk sekitar Tesso Nilo yang datang dalam rombongan cukup banyak 40 -60 orang. Diskusi dilakukan dengan dialog terbuka dan jujur dan banyak ‘curhat’ atau komplain soal ‘kenakalan satwa’ yang merambah tanaman dan kebun  manusia. Keesokan harinya (1/9), kami menuju Kawasan Margasatwa Rimbang Baling yang letaknya ke arah Timur Laut  dari Tesso Nilo. Sejenak, kami berhenti menyaksikan kerusakan hutan di KM 67, Bukit Horas, menyaksikan perambahan hutan Tesso Nilo yang sangat masif dan mengakibatkan hutan taman nasional yang dilindungi itu bertambah menyempit, terjepit ditengah areal Hutan Tanaman Industri (HTI) milik
RAPP. Menurut informasi yang kami peroleh, kawasan ini telah dirambah sejauh ribuan hektar oleh kebun-kebun sawit.  Detik Com mengeluarkan berita pada hari yang sama kami berkunjung: “
Gawat! Ribuan Hektar Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau Dijarah. Sejauh mata memandang, tidak ada lagi hutan alam yang tersisa. Dan Tesso Nilo sebenarnya sudah sangat kritis dalam perambahan yang sangat masif dan terjadi pembiaran ini.
   

Kami terus menuju Suaka Margasatwa Rimbang Baling, menelusuri Sungai dan singgah ke stasiun riset WWF di Pasir Subayang, Rimbang Baling. Disini masih dijumpai hutan yang masih asli, jauh berbeda dari pemandangan di Tesso Nilo yang penuh sawit. Dialog dilakukan dengan sekitar 40 warga dari tiga desa sekitar yaitu Muara Beo, Tj Delik dan Desa Gema, Kecamatan Kampar Kiri. Acara tersebut dihadiri oleh tokoh adat, pemangku desa, Kapolsek Kampar Kiri. Penduduk di kawasan ini 90% bertani karet, dan masih menjunjung tinggi adat. Mereka juga menerapkan sistem
lubuk larangan, untuk pemanenan ikan secara berkelanjutan.
Dalam dialog dengan masyarakat, saya mencatat tentang tingginya respek para tokoh adat dan agama di Rimbang Baling terhadap MUI. Mereka mengatakan, sangat bersyukur desa mereka dikunjungi dan meminta bimbingan moral MUI dalam mengarahkan kehidupan keagamaan di kampung mereka yang dianggapnya sudah mulai mengalami degradasi moralitas.

WWF memeliti, kawasan Margasatwa Rimbang Baling masih mempunyai populasi harimau yang signifikan dan tutupan hutan yang relatif baik. Perjalanan di kawasan ini, dengan menyusuri sungai, mengingatkan saya pada Taman Negara Malaysia yang juga menuju ke kawasannya melalui sungai.

Para ulama dari MUI, saya yakin, kemudian akan mampu menangkap kesan mendalam tentang seluruh tantangan yang terjadi di lapangan dan kendala dalam melestarikan satwa liar ini. Mudah mudahan, nanti akan muncul rekomendasi dan kajian mendalam serta fatwa atas pertanyaan kami untuk melibatkan umat Islam dalam melestarikan satwa melalui keyakinan dan membantu kelestarian makhluk terancam punah, menjadi tetap lestari dan dapat hidup berdampingan dengan manusia. Wallahu a’lam.