Oleh Fachruddin Mangunjaya, dicuplik dari bukunya ‘Hidup Harmonis dengan Alam’ (2006)
Manusia sebenarnya mampu mewujudkan dan mengelola lingkungan yang bersih serta bumi yang hijau. Pertama, manusia memang dilahirkan dalam keadaan ‘fitrah’, tidak memiliki apa-apa namun cenderung bersih. Filosofi ini seharusnya membawa manusia pada kedewasaan berpikir dan bersikap. Manusia terlahir bersih, dan ketika mati akan dikembalikan dalam keadaan bersih, tidak membawa lagi sampah dan ikutan yang lainnya. Sampah, polusi dan barang-barang tidak terpakai lainnya hanyalah ikutan setelah manusia lahir dan hidup di dunia, bukan dibawa sejak lahir. Ketika manusia hadir di dunia hendaklah tidak mencemari lingkungan sebagaimana bersihnya mereka ketika lahir. Oleh karena itu sikap bersih seharusnya ditumbuh kembangkan dari dalam diri sendiri, dan selalu dijaga hingga akhir hayat.
Kedua, penanggulangan masalah lingkungan dan hijaunya planet tidak sekedar persoalan sampah dan menanam pohon, tetapi merupakan rangkaian kesadaran manusia dalam memelihara kelestarian hidup mereka di bumi. Hijaunya pohon dan bersih lingkungan, akan mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan warga negara yang sehat. Polusi dan pencemaran adalah penyakit, kehijauan ekosistem dengan vegetasi hijau yang cukup akan mampu menciptakan keseimbangan atas pencemaran yang dilakukan oleh manusia.
Ketiga, kesadaran kolektif warga negara yang mempunyai akar kuat pada tradisi di negara-negara berkembang tampaknya tidak bisa selalu didekati dengan pendekatan yang terlalu ilmiah—seperti halnya penyadaran lingkungan yang dilakukan di negara maju. Pendekatan spiritual atau agama menjadi penting. Alasannya, bahasa-bahasa yang digunakan agama –selain memiliki pesan moral yang kuat—juga memberikan peringatan yang keras—akan konsekuensi apabila ajaran tersebut diabaikan. Manusia boleh saja melanggar peraturan yang mereka buat, tetapi dalam persoalan lingkungan, Tuhan telah memberikan rumus bahwa bumi berjalan di atas hukum alam. Konsekuensinya siapa saja yang melanggar hukum Tuhan akan merasakan akibatnya. Sebagai contoh, (1) keserakahan manusia yang menebang hutan, sebagai ganjaran—akibatnya adalah: banjir, kekeringan dan pemanasan global,(2) kecerobohan menangkap ikan dengan menggunakan potassium—racun sianida—dan bom, mengakibatkan terumbu karang—tempat ikan tinggal—mati dan hasil tangkapan berkurang. Dengan demikian penghasilan yang diperoleh sebagai tangkapan nelayan akan berkurang, sehingga menurunkan kualitas penghidupan setempat.
Keempat, menguraikan kebijakan tersebut, para ilmuwan (scientist) dan ahli biologi konservasi serta para pratiktisi lingkungan hendaknya bersatu dengan ahli-ahli dan praktisi agama, untuk menjabarkan dan memberikan peringatan kepada warga negara dengan menguraikan logika dan etka terkait mengapa manusia dilarang membuat kerusakan dan mengelola lingkungan di bumi. Tentunya, harus ada alasan ilmiah pengambilan kebijakan pembangunan lingkungan dengan memberikan kesempatan (bahkan mendorong) ahli agama memberikan masukan, sehingga dalam taraf sosialisasi, masyarakat mendapatkan jaminan bahwa pembangunan tersebut mempunyai manfaat dalam kehidupan mereka dan kehidupan agama yang mereka jalankan.
Bagian tulisan dalam:
Primarck, R. J. Supriatna, D. Indrawan. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: inpress.
No comments:
Post a Comment