Kesadaran meningkat diseluruh dunia, bahwa seperti halnya dengan pendekatan-pendekatan hukum, sosial, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tengah dikembangkan saat ini, etika dan agama memiliki sumbangsih yang kuat bagi konservasi.
Dalam bukunya, ‘Etika Lingkungan’, Sonny Keraf (2002) mengingatkan bahwa setiap makhluk hidup memiliki kepentingan yang harus diperhitungkan dan diberi bobot yang sama. Perlu dibangun kesadaran bahwa alampun sebenarnya memiliki hak asasi. Lebih lanjut, dengan menghargai bahwa komunitas ekologi saling berhubungan dan masing-masing memiliki nilai tersendiri, perlu dibangun kearifan mengatur hidup selaras dengan alam. Mengajak manusia modern untuk kembali ke alam, kembali ke jati dirinya sebagai makhluk ekologis telah menjadi proyek utama etika lingkungan. Ke depan perlu dipahami pakem ‘keberlanjutan ekologi’ yang seyogyanya dapat menggantikan ‘pembangunan berkelanjutan’.. Meminjam istilah Arne Naess, adalah lebih penting menjadi lebih dibandingkan mempunyai lebih (‘not having more, but being more’). Ekofeminisme, yang merupakan suatu etika keperdulian menjadi penting pula. Ekofeminisme adalah etika kasih sayang, seperti ibu yang merawat bayi. Meskipun sang bayi tidak berdaya, namun tetap bernilai. Pada akhirnya, etika lingkungan memiliki sejumlah prinsip yang bila dipraktekkan dapat menyelamatkan lingkungan dalam era otonomi daerah. Perjuangan mendukung keberlanjutan ekologi sebenarnya sudah sejak dahulu dipraktekkan masyarakat adat di seluruh dunia melalui sikap hormat dan perduli terhadap kelangsungan hidup di alam semesta (Keraf op.cit) .
Pada dasarnya seluruh agama di dunia mengajarkan manusia untuk hidup damai dan berkelanjutan serta berharmonisasi dengan alam (Keraf 2002, Yahya 2003, Mangunjaya 2005, Mangunjaya 2006, lihat Kotak 6.1.).
Mangunjaya (2006) menguraikan bagaimana spiritualitas agama telah kembali dipertimbangkan para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia. Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan upaya para ilmuwan dan ahli agama untuk bersatu menyikapi situasi lingkungan kita. Kecenderungan dan kemajuan yang tercatat adalah sebagai berikut (Mangunjaya, op.cit). Pertama, dalam sebuah pertemuan pemimpin agama dan sains yang disebut: ‘Join Apppeal by Religion and Science for the Environment,” yang diadakan bulan Mei 1992 di Washington, D.C. Para ilmuwan dan pemimpin agama salah satunya menyatakan: “Kami yakin bahwa sains dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan yang terjadi di bumi. Tetapi kami yakin bahwa dimensi krisis ini sebenarnya tidak sepenuhnya diambil hati oleh para pemimpin kita yang memimpin lembaga-lembaga penting dan juga pemimpin industri. Namun demikian, kita menerima kewajiban kita untuk membantu memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap jutaan orang yang kita layani dan ajarkan mengenai konsekuensinya apabila terjadi krisis lingkungan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini” (Calvin B. DeWitt. 2002. The Good in Nature and Humanity Stephen R. Kellert dan Timothy J. Farnham, Island Press).
Kedua, pertemuan pemimpin agama-agama di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun 1986 ini bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan
“Deklarasi Assisi” di mana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam:
“Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidakperduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan” (Budha).
“Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu).”
“Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya,” (Kristiani)
“Manusia adalah pengemban amanah,”berkewajiban untuk memelihara keutuhan CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli,” (Muslim)
Ketiga, di tingkat regional, Indonesia menyelenggarakan hal yang sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan The World Bank mengundang pemuka-pemuka agama mengadakan Conference on Religion and Conservation pada 18 Desember 2002, yang menghasilkan ‘Kebun Raya Charter’ yang intinya melibatkan peran para pemuka agama dan ulama dalam menanggulangi permasalah konservasi alam dan lingkungan hidup.
Walhasil, sikap dan keteladanan pemimpin Agama dalam memelihara lingkungan dan kelestarian alam perlu kembali dilihat, misalnya dalam Islam banyak sekali Wisdom (kearifan) Rasulullah SAW, dalam menghormati makhluk hidup: sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi SAW menegur sahabatnya yang dalam pada saat perjalanan mereka menangkap anak burung yang berada di sarangnya. Ketika merasa kehilangan anak, induk burung itu pun mengiringi—terbang di atas rombongan—Rasullullah. Ketika menyaksikan hal itu Nabi bersabda: “Siapakah yang menyusahkan burung ini dan mengambil anaknya?Kembalikan anak-anaknya padanya.” (hadits riwayat Abu Daud)
Dalam umat Kristiani (Katholik) dikenal Santo Francis Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa: “Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang ke mana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungi mu dari marabahaya dan mengatur hidupmu tanpa kamu merasakannya.” (Mangunjaya, op cit)
Bagian tulisan dalam:
Primarck, R. J. Supriatna, D. Indrawan. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: inpress.
No comments:
Post a Comment