This blog is non official in bridging and sharing opinions of Islam and Ecology. The Official language of this blog is Bahasa Indonesia.
Friday, March 30, 2007
Persoalan Teologi Konservasi Ekologi
Sudah merupakan rutinitas tahunan jika di beberapa tempat di Kalimantan dan Sumatera diliputi asap tebal yang sangat berpotensi bagi bagi masyarakat untuk terkena penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebagai akibat dari praktik pembakaran lahan pertanian oleh petani yang akan memulai cocok tanam. Namun, sebenarnya praktik itu tidak hanya dilakukan oleh petani saja, tapi juga oleh perusahan yang bergerak di bidang perkebunan yang ingin menghindari biaya tinggi. Untuk itu, perlu keadilan dalam menyoroti masalah asap tersebut. Janganlah petani yang berjuang untuk memenuhi priuk nasinya di-blow up besar-besaran, sementara perusak hutan dan lingkungan dalam sekala besar tidak disorot secara luas. Menurut sejumlah pakar seperti Lynn White Jr dan Graham Parkes praktik merusak alam terjadi akibat masyarakat dengan disokong oleh modal besar dalam melakukan eksploitasi hutan dan alam tidak lagi mengindahkan kearifan lokal yang senantiasa menjaga keseimbangan dengan alam. Lebih lanjut keduanya mengatakan, tindakan rakus itu justru dilakukan oleh orang-orang beragama yang merasa mendapatkan legitimasi dari doktrin: manusia sebagai pemegang kekuasaan atas alam (dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah fi al-'aradl). Pemicunya, menurut mereka, ketika agama menempatkan alam lebih rendah dari manusia, eksploitasi sekehendak manusia menjadi sah.
Pendapat kedua pakar itu memang tidak sepenuhnya salah, mengingat para pemegang modal yang mendorong terjadinya eksploitasi secara besar-besar adalah orang-orang moderen beragama. Namun, perlu diingat bahwa kenapa kearifan lokal dilanggar, karena orang-orang di sekitarnya sudah mengenal uang sehingga kearifan itu dianggap sebagai pengekang mendapatkan kekayaan. Dengan kata, lain menurut saya bawa ketamakan itulah yang menyebabkan eksploitasi bukan karena dorongan agama yang dianutnya. Berkaitan dengan bagaimana seharusnya alam diperlakukan, Allah dalam firman-Nya menegaskan bahwa apa saja yang Ia ciptakan memang diperuntukkan bagi manusia. Hanya perlu diingat hal itu tetap kepunyaan-Nya segala sesuatu yang ada di dunia. Untuk itu, sejumlah kalangan menekankan agar tokoh umat beragama merevitalisasi sejumlah pandangan keagamaan dalam konteks hubungan manusia dengan alam dalam rangka mereposisi kedudukan manusia yang absolut terhadap alam dan menggantinya dengan doktrin saling ketergantungan, sehingga nafsu eksploitasi yang cenderung merusak bisa dicegah.
Dalam pandangan teologis, segala jenis musibah alam seperti banjir, tsunami, gempa bumi, dan lainnya merupa-kan azab Allah, Tuhan alam semesta bagi manusia yang belum juga jera dalam melakukan perbuatan zalim. Padahal dalam agama (Islam), dampak dari kezaliman melampaui segala strata sosial, suku, agama, pelaku zalim dan pelaku kebaikan. Jika orang beragama menghayati agama yang dianutnya, semestinya mereka bisa menahan diri dari mengeksploitasi alam, karena kerugian yang ditimbulkannya akan menyengsarakan semua pihak.
Alquran dalam konteks ini menegaskan agar siapa saja menjauhi perbuatan zalim dan fitnah, karena akibatnya tidak hanya menimpa orang yang berbuat zalim (QS: 8, 25). Oleh sebab itu, Allah melalui QS Ibrahim ayat 7 mengatakan: "Jika kamu bersyukur, niscaya Aku tambahnikmat Ku dan apabilakamu kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya siksa Ku sangat pedih."
Ayat tersebut mengisyaratkan, manusia memang cenderung tamak. Guna menghindarinya harus memperbanyak syukur, karena tindakan akan menyebabkan kesadaran bahwa eksploitasi alam harus dilakukan dengan memperhatikan ekologi agar tidak menimbulkan dampak yang menyengsarakan orang banyak.
Mengingat Allah telah memperingatkan manusia agar tidak tamak dalam mengelola alam semesta ini, semestinya semua umat beragama khususnya umat Islam yang menjadi penghuni mayoritas negeri ini memberikan pemahaman perihal itu sekaligus menekankan, pengelolaan alam sudah semestinya dikaitkan dengan aspek spiritalitas agama.
Berkaitan dengan hal itu perlu ditekankan bahwa memelihara alam sama halnya dengan menjaga aspek yang terkait al-usul al-khamsah dalam usul al-fiqh yaitu hifz al-din (memelihara agama), hifz al-nafs (memelihara jiwa), hifz al-`aql (memelihara akal), hifz al-mal (memelihara akal), dan hifz al-'ardl (memelihara kehormatan). Bahkan jika perlu ditambahkan dengan hifz al-bi 'ah (memelihara li'ngkungan), mengingat kelang-sungan hidup menusia tidak mungkin terlepas dari alam dan lingkungannya.
Mengingat kerusakan alam dan lingkungan sudah semakin parah serta telah mengancam kelangsungan manusia di masa akan datang, sudah sepatutnya tokoh agama melakukan rekonstruksi terhadap doktrin keagamaan di mana dengan doktrin khalifah fi al-'aradl terkesan manusia bebas berbuat sesukanya agar nilai dalam agama tetap relevan dengan situasi jika ingin menjadikan nilai agama sebagai penggerak utama dalam menciptakan kesadaran terhadap alam dan lingkungan.
Dikutip dari
Sumatra Ekspres, 01 September 2006
Pengelolaan Hutan Berdasarkan Syariah
Sumber Kekayaan Yang Gagal
Hutan yang luasnya 120 juta hektar dan merupakan 60 % luas daratan Indonesia, sebenarnya merupakan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis (Nurrochmat, 2005). Namun kekayaan itu tidak banyak gunanya bagi rakyat, karena pengelolaannya gagal.
Menurut laporan WALHI 1993, rata-rata hasil hutan Indonesia tiap tahunnya 2,5 miliar dolar AS. Pada tahun 2005 diperkirakan hasilnya mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS (Agustianto, 2005).
Namun, semua orang juga tahu kini Indonesia menjadi negara bangkrut. Dari hasil hutan sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara ternyata hanya 17 %, sedangkan yang 83 % masuk ke kantong pengusaha HPH yang tidak bertanggung jawab (Sembiring, 1994).
Pemberian HPH kepada pengusaha itu dimulai sejak 1967 melalui UU Pokok Kehutanan No 5 Tahun 1967, yang kemudian direvisi dengan UU Kehutanan no 41 Tahun 1999. Mengapa direvisi? Sebab UU No 5/1967 itu hanya menekankan produksi (alias rakus). Maka lahirlah UU No 41/1999 yang agak mendingan karena sudah memperhitungkan konservasi dan partisipasi masyarakat (Nurrochmat, 2005).
Karena hanya menekankan produksi, wajar jika hutan Indonesia lalu dikelola seperti halnya pengelolaan tambang (mining management), sehingga aspek kelestarian berada di titik terendah, sementara kegiatan penebangan berada di titik tertinggi (Irawan, 2005).
Dampaknya? Kerusakan hutan yang sangat dahsyat. PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata telah menimbulkan kerusakan hutan lebih dari 50 juta ha (hektare). Kini areal kerusakan hutan mencapai luas 56,98 juta ha (Agustianto, 2005).
Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia, ternyata hasilnya hampir-hampir tidak dirasakan mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.
Sebab Kegagalan Pengelolaan Hutan
Irawan (2005) menyebutkan bahwa kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan.
Kesalahan pembuat kebijakan itu dengan kata lain sesungguhnya adalah kesalahan ideologis, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi hidup dan nyata dari ideologi yang diyakini pembuat kebijakan.
Tegasnya, yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah ideologi kapitalisme. Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam Kapitalisme (Heilbroner, 1991). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH yang diberikan oleh penguasa.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian (mementingkan kemanfaatan) telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991).
Inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi --misalnya perusahaan HPH menebang melebihi volume yang dilaporkan-- dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia).
Pengelolaan Hutan Menurut Syariah
Berikut ini beberapa ketentuan syariah Islam terpenting dalam pengelolaan hutan :
1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW :
"Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).
Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah). Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).
2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing).
Zallum (1983:81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum :
Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya.
Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah --sebagai wakil kaum muslimin-- yang berhak untuk mengelolanya.
Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar.
Sabda Rasulullah SAW :
"Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim)
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
3. Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).
Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah).
Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat.
Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya.
Dalil untuk ketentuan ini adalah kaidah fikih yang menyatakan : al- ashlu fi al-af'aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah boleh).
Jadi pada dasarnya urusan administrasi itu adalah boleh bagi Khalifah untuk menetapkannya sendiri, dan boleh juga Khalifah mendelegasikannya untuk ditetapkan dan ditangani oleh Wali (Gubernur) di daerah.
4. Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.
Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum.
Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam. Kaidah fikih menyebutkan :
"Tasharruf al-Imaam ‘alaa al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah."
(Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan) (Lihat Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Al-Furu’)
5. Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.
Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah.
Dalil bolehnya negara melakukan hima adalah hadits bahwa Rasulullah SAW telah melakukan hima atas Naqii’ (nama padang gembalaan dekat Madinah) untuk kuda-kuda perang milik kaum muslimin (HR Ahmad dan Ibnu Hibban) (Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya` al-Aradhi al-Amwat fi Al-Islam, h. 105) .
Maka dari itu, negara boleh melakukan hima atas hutan Kalimantan misalnya, khusus untuk pendanaan jihad fi sabilillah. Tidak boleh hasilnya untuk gaji dinas kehutanan, atau untuk membeli mesin dan sarana kehutanan, atau keperluan apa pun di luar kepentingan jihad fi sabilillah.
6. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.
Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan.
Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.
Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).
7. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.
Dalam kaidah fikih dikatakan, "Adh-dlarar yuzal", artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi SAW bersabda, "Laa dharara wa laa dhiraara." (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.
Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.
7. Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.
Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).
Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional.
Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto, Fikih Sumber Daya Alam , http://www.waspada.co.id/serba_waspada/mimbar_jumat/artikel.php?article_id=70528
Ali, Athif Abu Zaid Sulaiman, Ihya` al-Aradhi al-Amwat fi Al-Islam, (Makkah al-Mukarramah : Rabitah ‘Alam Islami, 1416 H).
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, (Beirut : Darul Ummah, 1990)
As-Salus, Ali Ahmad, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyyah Al-Mu’ashirah wa Al-Iqtshadi a-Islami, (Qatar : Dar ats-Tsaqafah, 2002)
Baasir, Faisal, Mengamankan Kekayaan Hutan dan Industri Kayu, 5 Juli 2006 www.suarakarya-online.com/news.html?id=148492
Heilbroner, Robert L, Hakikat dan Logika Kapitalisme (The Nature and Logic of Capitalism), Penerjemah Hartono Hadikusumo, (Jakarta : LP3S, 1991).
Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000) 1139-1140
Irawan, Bambang, "Pembenahan Sistem Silvikultur Hutan Produksi di Indonesia", dalam Ahmad Erani Mustika (Ed.), Menjinakkan Liberalisme : Revitalisasi Sektor Pertanian & Kehutanan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005)
Nurrochmat, Dodik Ridho, "Desentralisasi dan Reformasi Kebijakan Kehutanan", dalam Ahmad Erani Mustika (Ed.), Menjinakkan Liberalisme : Revitalisasi Sektor Pertanian & Kehutanan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005)
Sunarto, Paradoks Kekayaan Hayati Indonesia Kaya tapi Sengsara, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/21/ipt02.html
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul ‘Ilmi lil Malayin, 1983
Dikutip dari:
Konservasi Syariah Indonesia
Tuesday, March 27, 2007
Waqaf
Untuk kepentingan yang lebih luas dalam dunia konservasi, maka wakaf juga dapat didorong untuk melibatkan muslim dalam memajukan pelestarian alam untuk kepentingan publik misalnya untuk pendirian stasiun riset, laboratorium kultur jaringan untuk perbanyakan bibit tanaman, pendirian rumah kaca untuk kepentingan penelitian, institusi pelatihan, pengembangan dan penangkaran hidupan liar (untuk mencegah kepunahan) dll. Lahan wakaf dapat menjadi sarana yang memungkinkan muslim secara individu maupun kolektif memberikan kontribusi yang berarti untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan dan konservasi alam.
Hima
Hima’ merupakan salah satu istilah yang tepat untuk diterjemahkan menjadi kawasan lindung (dalam istilah sekarang). Othman Llewellyn, menyebutkan bahwa tradisi hima’ ditandai oleh fleksibilitas. Dalam hukum Islam, menurut Al-Suyuti dan fuqaha-fuqaha lain, sebuah hima’ harus memenuhi empat persyaratan yang berasal dari praktik Nabi Muhammad SAW dan khalifah-khalifah pertama:
- harus diputuskan oleh pemerintahan Islam;
- harus dibangun sesuai ajaran Allah – yakni untuk tujuan-tujuan yang berkaintan dengan kesejahteraan umum;
- harus terbebas dari kesulitan pada masyarakat setempat, yakni tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan mereka yang tak tergantikan;
- harus mewujudkan manfaat nyata yang lebih besar untuk masyarakat ketimbang kerusakan yang ditimbulkannya. [1]
Jika melihat kaidah fuqaha ini, maka, hima’, merupakan istilah yang paling mewakili untuk diketengahkan sebagai perbandingan kata dan istilah untuk kawasan konservasi: taman nasional, suaka alam, hutan lindung dan suaka margasatwa. Alasannya, semuanya kawasan konservasi ditetapkan oleh pemerintah (walaupun bukan pemerintahan Islam-sic). Kedua, pada dasarnya kawasan konservasi dibuat adalah untuk kepentingan kemaslahatan umum, misalnya: jasa ekosistem, sumber air, pencegahan banjir dan longsor, stok bahan-bahan genetic dan sumberdaya hayati, penyerapan karbon dan lain-lain.
Ketiga, penetapan kawasan konservasi tentu saja dengan tujuan untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan kehidupan mereka. Keempat, kawasan konservasi merupakan sarana untuk menimbulkan maslahat jangka panjang, termasuk mencegah dari terjadinya bencana seperti kekeringan pada musim kemarau atau banjir pada saat musim hujan.
Oleh karena itu istilah hima’, bisa saja bermakna: taman nasional, hutan lindung, suaka margasatwa dll. Hima’ merupakan kawasan lindung yang dibuat oleh Rasullullah SAW dan diakui oleh FAO sebagai contoh pengelolaan kawasan lindung paling tua bertahan di dunia. Berbeda dengan kawasan lindung sekarang yang umumnya mempunyai luasan yang sangat besar dalam sejarah, hima’ memiliki ukuran luas yang berbeda-beda, dari beberapa hektar sampai ratusan kilometer persegi. Hima’ al-Rabadha, yang dibangun oleh Khalifah Umar ibn Khatab dan diperluas oleh Khalifah Usman ibn Affan, adalah salah satu yang terbesar, membentang dari tempat ar-Rabadhah di barat Najid sampai ke dekat kampung Dariyah. Di antara hima’ tradisional adalah lahan-lahan penggembalaan yang paling baik dikelola di semenanjung Arabia; beberapa di antaranya telah dimanfaatkan secara benar untuk menggembala ternak sejak masa-masa awal Islam dan merupakan contoh pelestarian kawasan penggembalaan yang paling lama bertahan yang pernah dikenal. Sesungguhnya, beberapa sistem kawasan lindung diketahui memilik riwayat yang sama lamanya dengan hima’-hima’ tradisional.
Diperkirakan tahun 1965 ada kira-kira tiga ribu hima’ di Saudi Arabia, mencakup sebuah kawasan luas di bawah pengelolaan konservasionis dan berkelanjutan. Hampir setiap desa di barat laut pegunungan itu termasuk ke dalam salah satu atau lebih hima’, yang terkait juga dengan sebuah perkampungan sebelahnya. Hima’-hima’ itu bervariasi dari 10 sampai 1000 hektar dan rata-rata berukuran sekitar 250 hektar.[2]
Imam Al-Mawardi, menyebutkan, hima’ merupakan kawasan lindung yang dilarang untuk menggarapnya untuk dimiliki oleh siapapun agar ia tetap menjadi milik umum untuk tumbuhnya rumput dan pengembalaan hewan ternak. Rasullullah SAW melindungi Madinah dan naik ke gunung Annaqi’, dan bersabda: “Haza hima’ wa ‘asyaara biyadihi ilal qa i,” (ini adalah lahan yang kulindungi –sambil memberi isyarat ke lembah).[3] Nabi SAW juga pernah bersabda: “La hima’ ilallaha warasuluhu,” (Tiada hima’’ kecuali adalah milik Allah dan Rasulnya (untuk kemanusiaan). Jusamah meriwayatkan lagi, bahwa Nabi Muhammad SAW membuat lahan hima’’ di al-Naqi lalu Umar di al-Sharaf dan al-Rabazah. [4]
Banyak hima’ , yang telah dicanangkan di Saudi Arabia –sebagai peninggalan Islam, dan sekarang masih ada--juga terletak di daerah daerah yang kaya akan keanekaragaman hayatinya atau lahan-lahan hijau serta memiliki habitat-habitat biologi penting. Dengan demikian, tentu saja pemerintah tinggal meneruskan tradisin ini untuk untuk pemeliharaan keanekaragaman hayati. Namun karena masalah-masalah yang dihadapi oleh kawasan-kawasan konservasi semakin kompleks, makan perlu di eksplorasi potensi ekologinya melalui penelitian serta mengembangkan aspek sosio-ekonomi kawasan-kawasan tersebut sehingga menjadi maslahat bagi kepentingan ummat.
Oleh sebab itu, hima’ dapat dijadikan model legitimasi yang bisa ditampilkan ketika kehilangan spesies meningkat dan ekosistem menggerogoti kesuburan lahan, sebagai instrumen syariah yang penting untuk koservasi keragaman hayati. Untuk mewujukan potensi ini, setiap negara Muslim perlu membangun sebuah sistem hima’ – kawasan lindung -- yang komprehensif berdasarkan inventarisasi dan analisa akurat mengenai sumber-sumber biologinya. Sistem seperti itu harus melestarikan [dan memulihkan] representasi setiap kawasan physiografis dan biota. Ia harus melestarikan [dan memulihkan] tempat-tempat produksi bilogis penting dan kepentingan ekologisnya, seperti lahan basah, pegunungan, hutan-hutan dan kawasan hijau, pulau-pulau, terumbu karang, mangrove, rumput laut dan semak-semak. Ia pun harus melestarikan populasi satwa langka dan terancam, satwa endemik dan spesis-spesis penting ekologi dan bernilai ekonomis.[5]
Bagaimana dengan Indonesia? Semangat pelestarian alam sudah dicanangkan termasuk di kawasan baru Taman Nasional Batang Gadis di Mandailing Natal, yang tadinya merupakan suaka alam, kemudian menjadi Taman Nasional. Peningkatan status menjadi taman nasional, memperjelas kedekatan pengelolaan kawasan tersebut menjadi lebih maslahat kepada ummat. Sebab dengan adanya taman nasional pengelolaan kawasan lebih dimungkinkan dengan pendekatan yang berkelanjutan: misalnya (1) pemanfaatan zona-zona lahan untuk kepentingan ekonomi (ekowisata, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu: karet alam, damar dll). (2) pemanfaatan kawasan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Kawasan asli diperlukan untuk memberikan input tentang kekayaan biologi dan kesempatan manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang isi yang terkandung didalamnya.(3) pemanfaatan kawasan sebagai aset dalam perawatan ekosistem baik lokal, regional maupun global yang dapat berbentuk jasa ekologi misalnya: daerah tangkapan air, hutan sebagai kawasan penyerap karbon (carbon sinc) atau sebagai paru-paru bumi, stok genetika dan kekayaan keanekaragaman hayati yang lain.
Oleh karena itu, sebagai legitimasi syariah, misalnya, untuk menjadikan penekanan ‘Islami’ terhadap kawasan konservasi, maka adalah absah untuk memberikan nama baru –yang Islami kawasan taman nasional menjadi sebutan, misalnya Hima’ Batang Gadis, Hima’ Gunung Leuser (di Aceh) dan seterusnya. Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang telah ber’azam menerapkan syariat Islam, memiliki potensi yang kuat untuk menerapkan baik secara istilah, maupun praktis dari syariat hima’ ini.
Hima sesungguhnya merupakan instrumen yang baik untuk pembangunan berkelanjutan, oleh sebab itu, hima’ yang paling bertahan adalah yang direncanakan dan dikelola, tidak oleh pemerintah pusat, tapi oleh masyarakat setempat sebagai stake holder yang hidupnya tergantung pada lahan itu. Taman Nasional Batang Gadis merupakan contoh dari perencanaan ini. Dalam sejarah awalnya, TNBG adalah diusulkan oleh pemerintah daerah bersama dengan masyarakat setempat, karena kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan alam untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati dan perawatan ekosistem.[6] Oleh sebab itulah, guna memungkinkan hima’ mencapai nilai potensinya untuk pembangunan berkelanjutan, harus ada keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaannya serta mengelolanya untuk mendapatkan keuntungan terus menerus yang dibagi secara sama di antara stake holders, yang pada gilirannya bertanggung jawab memelihara sumber-sumber itu.
[1] Dikutip dari Othman Llewelyn.2003. The Basic for a Discipline of Environmental law. Dalam Islam and Ecology R.C. Foltz, F.M. Denny and A.Baharuddin. Harvard Univ Press. Cambridge. hal 213 [2] ibid. Llewellyn, Othman. 2003. hal 214
[3] Al Mawardi, Imam. Al Ahkam As Sulthaniyyah.(Penerjemah:Fadhil Bahri). Darul Falah. Jakarta. 2000. hal 311.
[4] Lihat: Fiqh al Biah. A.S. Muhammad dkk. Laporan INFORM, 2004. h 25.
[5] ibid. Llewellyn, Othman. hal 216
[6] Conservation International Indonesia. Taman Nasional Batang Gadis: Warisan untuk Anak Cucu. CI Indonesia, Medan. 2004.
Harim
Biasaya harim dalam ukuran lahan tidak terlalu luas. Di dalam sebuah desa misalnya, harim dapat difungsikan untuk menggembalakan ternak atau mencari kayu bakar dan dapat ditempuh tidak lebih dari satu hari (dapat pulang ke kampung itu pada hari yang sama). Lahan ini bisa pula dimanfaatkan untuk memberi makan dan minum ternak tanpa membuat kerusakan; polusi, merumput yang berlebihan dan sebagainya. Karena harim biasanya merupakan milik kolektif (sebuah kampung), maka dengan ijin besama yang mempunyai lahan tersebut juga berhak membuat akses aliran air ke sawah-sawah atau ladang secara bersama di kawasan sekitarnya.
Di Mandailing Natal ada istilah: Lubuk Larangan yang merupakan terapan yang mirik dengan praktik harim. Di Jambi ada Hutan Adat Keluru yang merupakan hutan larangan yang merupakan praktik serupa dengan harim dalam syariat. Yang penting dalam harim ini adalah terdapat kawasan yang masih asli (belum dirambah) yang tidak dimiliki oleh individu tetapi dapat dimiliki oleh masyarakat secara bersama. Pemerintah dapat mengadministrasikan –mencatat—kawasan ini untuk keperluan bersama atau milik ummat (public). Walaupun milik public, penduduk desa sekitar masih dapat mencari kayu bakar dan menggembalakan ternak mereka di kawasan ini.
Ijarah
[1] Pasal 531. Kitab undang-undang hukum perdata Islam. Kitab ini merupaka terjemahan dari Majalla al-Ahkam al-Adaliyyah (The Ottoman Court Manual), diterjemahkan oleh H.A. Djazuli dkk. Kiblat Press Bandung 2002.
Iqta
Apabila penggarap telah membangun lahan tersebut menjadi produktif, maka dia tidak bisa memindah tangankan lahan tersebut kepada orang lain. Apabila lahan tersebut selama tiga tahun terlantar, maka penguasa negara bisa mencabut hak pakai penggarap lahan dan mengalihkannya kepada yang lain yang ingin memanfaatkan (menghidupkan lahan tersebut).
Lahan yang digunakan untuk iqta adalah lahan yang didalamnya tidak ada kepentingan public, misalnya sumber daya air, kepentingan ekosistem dan tidak menimbulkan masalah dalam penggarapannya. Di kawasan tersebut juga harus dipastikan tidak terdapat sumber daya mineral atau keuntungan publik lain yang seharusnya dikuasai oleh pemerintah untuk kemaslahatan orang banyak.
Ihya al Mawat
Semangat masa awal Islam yang memberikan peluang untuk membuat perbaikan (ishlah) tercermin pada ihya al-mawat ini. Misalnya Nabi pernah bersabda:
‘Man ahya arldha maitatu fa hiya lahu,’ (siapa saja yang menghidupkan tanah yang tadinya tidak dipakai –terlantar atau bukan milik seseorang—maka tanah tersebut menjadi miliknya).
Semangat menghidupkan lahan yang terlantar (tidak mempunyai pemilik) ini penting sebagai landasan untuk memakmurkan bumi. Tentu saja pemerintah dan perundang-undangan harus akomodatif dalam mengelola dan menerapkan peraturan pemilikan lahan secara konsisten. Ketentuan penggarapan tanah terseub menurut jumhur ulama tidak berlali bagi yang dimiliki oleh orang lain; atau kawasan yan apabila digarap akan mengakibatkan gangguan terhadap kemaslahatan umum; misalnya tanah yang rawan longsor atau Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan berubahnya aliran air. [1]
Oleh karena itu peraturan terhadap penguasaan lahan untuk penerapan syariat ihya al-mawat ini harus kondusif. Misalnya Khalifah Umar Ibn Khattab, membuat undang-undang, untuk mengambil alih tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya selama tiga tahun. Dengan demikian, apabila terlihat lahan-lahan yang berstatus tidak jelas dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, masyarakat –pemerintah--dapat memproses lahan tersebut untuk agar dialihkan kepemilikannya supaya dapat dihidupkan dan menjadi produktif. Demikian pula, Islam melarang individu memiliki tanah secara berlebihan, dan juga dilarang untuk memungut sewa atas tanah karena pada hakekatnya tanah itu adalah milik Allah.
[1] Lihat Mangunjaya,F. 2005. Konservasi Alam Dalam Islam. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal 59
Monday, March 26, 2007
Konservasi Alam dan Lingkungan Dalam Perspektif Islam
“Telah diketahui bahwa dalam makhluk-makhluk ini Allah menunjukkan maksud-maksud yang lain dari melayani manusia, dan lebih besar dari melayani manusia: Dia hanya menjelaskan kepada anak-cucu Adam apa manfaat yang ada padanya dan apa anugrah yang Allah berikan kepada ummat manusia.” (Taqi ad-Din Ahmad ibn Taimiyah)
Secara sistematik, para pakar Islam terdahulu sesungguhnya telah mempunyai keperdulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup dan konservasi alam, sebagaimana tercermin dari kata-kata Ibnu Taimiyah diatas। Oleh sebab Islam membawa kemaslahatan dan perbaikan (ishlah) terhadap bumi. Bagaimana dengan konservasi? Sebagaimana disepakati oleh para fuqaha, jika ingin melihat praktik mendasar tentang penerapan syariat yang absah, adalah dengan melihat bagaimana praktik Rasulullah SAW beserta para sahabat beliau dalam menerapkan ajaran Islam. Sedapatnya dalam mengkaji perihal konservasi ini, tensi kita tidaklah bersifat apologia terhadap ajaran Islam. Tapi setidaknya, dalam kondisi kekinian, kita menemukan Islam memberikan ajaran yang spesifik dalam persoalan perlindungan terhadap alam.
Dalam sejarah kemanusiaan konservasi alam bukanlah hal yang baru, misalnya pada 252 SM. Raja Asoka dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan dan hutan. Peristiwa ini mungkin merupakan contoh terawal yang tercatat dari apa yang sekarang kita sebut kawasan yang dilindungi. Pada sekitar 624-634 Masehi, Nabi Muhammad SAW juga membuat kawasan konservasi yang dikenal dengan hima’ di Madinah. Lalu pada tahun 1084 Masehi, Raja William I dari Inggrismememeritnahkan penyiapan The Doomesday Book, yaitu suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif milik kerajaan yang digunakan sebagai daerah untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan pembangunan negaranya. [2] Jadi jelaslah, konservasi sebenarnya merupakan kepentingan fitrah manusia di bumi yang dari masa kemasa terus mengalami perkembangan disebabkan kesadaran kita guna mendapatkan kehidupan yang layak dan mampu memikirkan kelangsungan hidup generasi kini maupun yang akan datang. Maka tidak heran jika praktik konservasi telah ada dalam ajaran Islam.
Istitusi konservasi dalam syariat Islam
Semangat konservasi dan pelayaan terhadap pelestarian alam dan lingkungan terdapat cukup banyak dalam istilah yang telah digunakan, baik yang kita temukan di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab klasik. Beberapa diantaranya dalam istilah tersebut disebutkan secara spesifik dalam bentuk praktis yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Beberapa institusi penting yang dapat dipandang sangat vital sifatnya dilihat dalam kondiri terkini yang menyangkut : pembagian lahan, hutan, pengelolaan hidupan liar, pertanian dan tata kota, ada beberapa hal istilah[3]:
- Ihya al-mawat, menghidupkan lahan yang terlantar dengan cara reklamasi atau memfungsikan kawasan tersebut agar menjadi produktif
- Iqta, lahan yang diijinkan oleh negara untuk kepentingan pertanian sebagai lahan garap untuk pengembang atau investor.
- Ijarah, sewa tanah untuk pertanian.
- Harim, kawasan lindung.
- Hima, kawasan yang dilindungi untuk kemaslahatan umum dan pengawetan habitat alami.
- Waqaf, lahan yang dihibahkan untuk kepentingan public (ummat).
Pada prinsipnya, pandangan diatas memang melekatkan secara umum tentang keharusan mengelola lahan secara baik dan benar baik untuk kepentingan manusia maupun kemanusiaan, juga untuk kepentingan alam sekitar termasuk flora dan fauna yang termasuk ciptaan Allah SWT। Enam bentuk dan istilah istitusi ini dapat dijumpai di berbagai literatur tentang pengelolaan negara (seperti kibat al-Ahkam al Sulthaniyah) hingga kitab hukum perdata (Majalla al-Ahkam al-Adaliyyah yang sudah menjadi petunjuk pelaksanaan) dari berlakunya syariat Islam di jaman Turki Ustmani.
Kesimpulan
Hukum syariat Islam mempunyai bentuk-bentuk dasar dan semangat konservasi alam yang baik sebagai referensi. Beberapa prinsip diatas sebenarnya dapat diadaptasi sebagai bentuk dasar dalam konservasi alam melalui syariat Islam. Keperluan konservasi yang semakin kompleks dan meluas, dapat saling mengisi antara enam aspek diatas. Misalnya, apabila lahan di sekitar taman nasional masih diperlukan untuk pembangunan fasilitas taman nasional –yang diadopsi sebagai hima’—dalam syariat Islam, maka masyarakat dapat dilibatkan untuk mewakafkan lahan –sebagai bentuk amaliah--mereka untuk kepentingan konservasi alam.
Demikian pula zona-zona harim, dapat dimasyarakatkan melalui penyadaran kepada masyarakat bahwa melestarikan kawasan aliran air dan jasa ekosistem merupakan anjuran syariat. Maka dengan memahami penerapan syariat yang menganjurkan pada kemaslahatan bersama dan didalamnya adalah unsur ibadah kepada Allah SWT, akan lebih banyak partisipasi ummat dalam menyumbangkan lahan-lahan mereka untuk kepentingan konservasi, Insya Allah.
Wallahu ‘alam
_______________________________________________[1] Project Manager for Conservation and Religion, Conservation International Indonesia.
Tulisan ini dipublikasikan di Jurnal Islamia Vol III(2) Maret 2007: 90-96.
[2] John and Kath MacKinnon, G. Child and J. Thorsell. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gaja Mada University Press, Yogyakarta. Hal 1.
[3] Llewellyn, O.1992. Desert Reclamation dan Conservation in Islamic Law. In F.M. Khalid and JO.Brien (eds), Islam and Ecology. WWF-Cassel Pub.London. p 92.
Islam and Ecology by Sheila Musaji
http://theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/environment_ecology/003069
Website di bawah berisi kumpulan artikel tentang Alam Sekitar/Lingkungan Hidup & Ekology menurut ajaran Islam, yang dikumpulkan oleh Sheila Musaji, bagi anda yang berminat untuk mempelajarinya sila kunjungi
http://theamericanmuslim.org/tam.php/features/articles/environment_ecology/003069
Artike Abdur-Razzaq Lubis yang berjudul "Environmental Ethics in Islam" dapat juga diakses pada website: www.mandailing.org
Hakikat Manusia Sejati
Manusia sebenarnya mampu mewujudkan dan mengelola lingkungan yang bersih serta bumi yang hijau. Pertama, manusia memang dilahirkan dalam keadaan ‘fitrah’, tidak memiliki apa-apa namun cenderung bersih. Filosofi ini seharusnya membawa manusia pada kedewasaan berpikir dan bersikap. Manusia terlahir bersih, dan ketika mati akan dikembalikan dalam keadaan bersih, tidak membawa lagi sampah dan ikutan yang lainnya. Sampah, polusi dan barang-barang tidak terpakai lainnya hanyalah ikutan setelah manusia lahir dan hidup di dunia, bukan dibawa sejak lahir. Ketika manusia hadir di dunia hendaklah tidak mencemari lingkungan sebagaimana bersihnya mereka ketika lahir. Oleh karena itu sikap bersih seharusnya ditumbuh kembangkan dari dalam diri sendiri, dan selalu dijaga hingga akhir hayat.
Kedua, penanggulangan masalah lingkungan dan hijaunya planet tidak sekedar persoalan sampah dan menanam pohon, tetapi merupakan rangkaian kesadaran manusia dalam memelihara kelestarian hidup mereka di bumi. Hijaunya pohon dan bersih lingkungan, akan mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan warga negara yang sehat. Polusi dan pencemaran adalah penyakit, kehijauan ekosistem dengan vegetasi hijau yang cukup akan mampu menciptakan keseimbangan atas pencemaran yang dilakukan oleh manusia.
Ketiga, kesadaran kolektif warga negara yang mempunyai akar kuat pada tradisi di negara-negara berkembang tampaknya tidak bisa selalu didekati dengan pendekatan yang terlalu ilmiah—seperti halnya penyadaran lingkungan yang dilakukan di negara maju. Pendekatan spiritual atau agama menjadi penting. Alasannya, bahasa-bahasa yang digunakan agama –selain memiliki pesan moral yang kuat—juga memberikan peringatan yang keras—akan konsekuensi apabila ajaran tersebut diabaikan. Manusia boleh saja melanggar peraturan yang mereka buat, tetapi dalam persoalan lingkungan, Tuhan telah memberikan rumus bahwa bumi berjalan di atas hukum alam. Konsekuensinya siapa saja yang melanggar hukum Tuhan akan merasakan akibatnya. Sebagai contoh, (1) keserakahan manusia yang menebang hutan, sebagai ganjaran—akibatnya adalah: banjir, kekeringan dan pemanasan global,(2) kecerobohan menangkap ikan dengan menggunakan potassium—racun sianida—dan bom, mengakibatkan terumbu karang—tempat ikan tinggal—mati dan hasil tangkapan berkurang. Dengan demikian penghasilan yang diperoleh sebagai tangkapan nelayan akan berkurang, sehingga menurunkan kualitas penghidupan setempat.
Keempat, menguraikan kebijakan tersebut, para ilmuwan (scientist) dan ahli biologi konservasi serta para pratiktisi lingkungan hendaknya bersatu dengan ahli-ahli dan praktisi agama, untuk menjabarkan dan memberikan peringatan kepada warga negara dengan menguraikan logika dan etka terkait mengapa manusia dilarang membuat kerusakan dan mengelola lingkungan di bumi. Tentunya, harus ada alasan ilmiah pengambilan kebijakan pembangunan lingkungan dengan memberikan kesempatan (bahkan mendorong) ahli agama memberikan masukan, sehingga dalam taraf sosialisasi, masyarakat mendapatkan jaminan bahwa pembangunan tersebut mempunyai manfaat dalam kehidupan mereka dan kehidupan agama yang mereka jalankan.
Bagian tulisan dalam:
Primarck, R. J. Supriatna, D. Indrawan. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: inpress.
Pendekatan Etika dan Agama
Dalam bukunya, ‘Etika Lingkungan’, Sonny Keraf (2002) mengingatkan bahwa setiap makhluk hidup memiliki kepentingan yang harus diperhitungkan dan diberi bobot yang sama. Perlu dibangun kesadaran bahwa alampun sebenarnya memiliki hak asasi. Lebih lanjut, dengan menghargai bahwa komunitas ekologi saling berhubungan dan masing-masing memiliki nilai tersendiri, perlu dibangun kearifan mengatur hidup selaras dengan alam. Mengajak manusia modern untuk kembali ke alam, kembali ke jati dirinya sebagai makhluk ekologis telah menjadi proyek utama etika lingkungan. Ke depan perlu dipahami pakem ‘keberlanjutan ekologi’ yang seyogyanya dapat menggantikan ‘pembangunan berkelanjutan’.. Meminjam istilah Arne Naess, adalah lebih penting menjadi lebih dibandingkan mempunyai lebih (‘not having more, but being more’). Ekofeminisme, yang merupakan suatu etika keperdulian menjadi penting pula. Ekofeminisme adalah etika kasih sayang, seperti ibu yang merawat bayi. Meskipun sang bayi tidak berdaya, namun tetap bernilai. Pada akhirnya, etika lingkungan memiliki sejumlah prinsip yang bila dipraktekkan dapat menyelamatkan lingkungan dalam era otonomi daerah. Perjuangan mendukung keberlanjutan ekologi sebenarnya sudah sejak dahulu dipraktekkan masyarakat adat di seluruh dunia melalui sikap hormat dan perduli terhadap kelangsungan hidup di alam semesta (Keraf op.cit) .
Pada dasarnya seluruh agama di dunia mengajarkan manusia untuk hidup damai dan berkelanjutan serta berharmonisasi dengan alam (Keraf 2002, Yahya 2003, Mangunjaya 2005, Mangunjaya 2006, lihat Kotak 6.1.).
Mangunjaya (2006) menguraikan bagaimana spiritualitas agama telah kembali dipertimbangkan para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia. Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan upaya para ilmuwan dan ahli agama untuk bersatu menyikapi situasi lingkungan kita. Kecenderungan dan kemajuan yang tercatat adalah sebagai berikut (Mangunjaya, op.cit). Pertama, dalam sebuah pertemuan pemimpin agama dan sains yang disebut: ‘Join Apppeal by Religion and Science for the Environment,” yang diadakan bulan Mei 1992 di Washington, D.C. Para ilmuwan dan pemimpin agama salah satunya menyatakan: “Kami yakin bahwa sains dan agama dapat bekerjasama untuk mengurangi dampak yang berarti dan membuat resolusi atas krisis lingkungan yang terjadi di bumi. Tetapi kami yakin bahwa dimensi krisis ini sebenarnya tidak sepenuhnya diambil hati oleh para pemimpin kita yang memimpin lembaga-lembaga penting dan juga pemimpin industri. Namun demikian, kita menerima kewajiban kita untuk membantu memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap jutaan orang yang kita layani dan ajarkan mengenai konsekuensinya apabila terjadi krisis lingkungan dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi hal ini” (Calvin B. DeWitt. 2002. The Good in Nature and Humanity Stephen R. Kellert dan Timothy J. Farnham, Island Press).
Kedua, pertemuan pemimpin agama-agama di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun 1986 ini bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan
“Deklarasi Assisi” di mana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam:
“Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidakperduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan” (Budha).
“Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu).”
“Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya,” (Kristiani)
“Manusia adalah pengemban amanah,”berkewajiban untuk memelihara keutuhan CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli,” (Muslim)
Ketiga, di tingkat regional, Indonesia menyelenggarakan hal yang sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan The World Bank mengundang pemuka-pemuka agama mengadakan Conference on Religion and Conservation pada 18 Desember 2002, yang menghasilkan ‘Kebun Raya Charter’ yang intinya melibatkan peran para pemuka agama dan ulama dalam menanggulangi permasalah konservasi alam dan lingkungan hidup.
Walhasil, sikap dan keteladanan pemimpin Agama dalam memelihara lingkungan dan kelestarian alam perlu kembali dilihat, misalnya dalam Islam banyak sekali Wisdom (kearifan) Rasulullah SAW, dalam menghormati makhluk hidup: sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi SAW menegur sahabatnya yang dalam pada saat perjalanan mereka menangkap anak burung yang berada di sarangnya. Ketika merasa kehilangan anak, induk burung itu pun mengiringi—terbang di atas rombongan—Rasullullah. Ketika menyaksikan hal itu Nabi bersabda: “Siapakah yang menyusahkan burung ini dan mengambil anaknya?Kembalikan anak-anaknya padanya.” (hadits riwayat Abu Daud)
Dalam umat Kristiani (Katholik) dikenal Santo Francis Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa: “Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang ke mana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atas mu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak pernah tertubruk atau tidak pernah pula terjatuh. Dialah yang melindungi mu dari marabahaya dan mengatur hidupmu tanpa kamu merasakannya.” (Mangunjaya, op cit)
Bagian tulisan dalam:
Primarck, R. J. Supriatna, D. Indrawan. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: inpress.